Freen dibangunkan oleh seberkas sinar matahari yang menyinari seprai, membutakannya. Dia mengerang, berguling dan meraih gadis yang lebih kecil di sebelahnya. Saat yang ditemukan tangannya hanyalah tumpukan selimut, dia menjadi bingung.
Gadis bermata indah itu duduk dengan grogi, mengucek matanya dan melihat sekeliling ruangan. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Rebecca. Pikirannya langsung kembali pada kejadian semalam, pada pengakuan perasaan yang mereka lakukan pada satu sama lain. Jantung Freen terhenti.
Apa itu terlalu berlebihan untuk Rebecca? Apa dia terbangun dan pergi di tengah malam? Kegelisahan mendidih di pembuluh darah Freen dan dia dengan cepat menendang selimut dari kakinya, buru-buru menuruni lorong untuk mengonfirmasi ketakutan terbesarnya.
Dia mengeluarkan desah nafas lega saat dia menemukan sepatu putih Rebecca berada di tempat yang sama dengan malam sebelumnya, di bawah anak tangga. Tepat saat dia akan memanggil gadis itu, dia mendengar erangan frustrasi menggema dari dapur.
Freen maju perlahan, mendengarkan untuk beberapa saat.
"Sekarang tambahkan seperempat cangkir minyak dan-,"
"Tidak!" gusar Rebecca, mengetuk pada iPad dan mengulang lagi video. Freen mengintip dari balik dinding, memperhatikan gadis kecil itu dalam piyama sedang mempelajari iPad dengan seksama.
"Tambahkan satu sendok makan garam." Suara dari iPad terdengar. Rebecca mengerang, menjeda video dan melihat sekitar dapur dengan perlahan. Alisnya mengerut penuh kekesalan.
"Tidak ada sendok di meja, aku sudah memberitahumu!" gumamnya, menggoyangkan kepalanya dan menekankan telapak tangannya di meja. Dia mengambil mangkuk kosong, mengangkatnya dan memperhatikannya dengan penuh curiga. Ini tidak berjalan seperti yang dia pikirkan.
Dia memulai kembali video, menonton saat seorang wanita menambahkan secangkir tepung ke dalam mangkuk. Secangkir. Satu cangkir. Ini terdengar familiar. Rebecca berjalan ke laci, menemukan cangkir kuning yang biasa dia gunakan untuk minum dan berjalan kembali ke meja.
Sebelum dia bisa menyendokkannya ke dalam wadah tepung, Freen buru-buru keluar dari persembunyiannya di balik dinding dan menarik perhatiannya.
"Itu bukan jenis cangkir yang mereka maksud." Freen tertawa lembut, berjalan menuju Rebecca dan membuka salah satu laci. Dia menarik cangkir ukur dan menyerahkannya pada gadis yang lebih kecil.
Bahu Rebecca melorot saat Freen muncul. Ini seharusnya menjadi kejutan. Dan sekarang dia mengacaukannya, karena dia tidak bisa mengikuti intruksi sederhana dalam video. Freen memperhatikan ini.
"Hei, hei, tidak apa-apa, memasak tidak pernah mudah." Freen mengeluskan tangannya pada lengan Rebecca dan meremasnya. "Mengikuti video juga agak sulit. Kamu tidak akan pernah bisa menyamai mereka."
Rebecca menggelengkan kepalanya dan mundur selangkah. "Aku sedang mencoba membuatkan kejutan untukmu." Akunya, menghela nafas dengan berat. Gadis yang lebih kecil berbalik menghadap iPad, menamparkan tangannya di atas meja.
"Kamu berbohong tentang sendok makan!" dia menggoyang iPad, mengerang frustrasi. Freen menggigit bibirnya, menangkap tangan Rebecca sebelum dia merusak sesuatu yang berharga.
"BB, tidak apa." Freen tertawa lembut dan menggelengkan kepalanya. "Bukan masalah besar. Aku menghargai usahamu." Dia memberi Rebecca senyum menenangkan.
"Tidak." Rebecca menjauh dari Freen dan mulai berjalan mondar mandir. "Aku rusak, ini tidak normal. Aku buruk. Aku tidak bisa melakukan ini. Aku harus bisa melakukan ini."
Freen membuka mulutnya untuk bicara tetapi Rebecca meneruskan berjalan mondar mandir membentuk lingkaran di sekitar meja, bergumam pada dirinya sendiri. Semakin frustrasi, Freen menggeprakkan tangannya ke meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLUE - Freenbecky
FanfictionBuku kedua dalam Yellow Series Cerita ini bukan miliki saya, hanya terjemahan dan konversi dari buku berjudul Blue → camren yang ditulis oleh @txrches. Setelah perjalanan yang panjang dan lama, Freen akhirnya yakin bahwa dia dan Rebecca telah mencap...