DUA PULUH ENAM

981 94 9
                                    

Mata Freen terbuka keesokan paginya dan berhadapan langsung dengan boneka kelinci milik adik perempuannya. Dia mengernyitkan hidungnya, berguling dan memejamkan matanya sekali lagi. Meskipun, beberapa saat kemudian, matanya kembali terbuka ketika dia menyadari ada yang hilang. Rebecca.

Freen dengan cepat duduk dan menyisirkan tangannya di rambutnya yang kusut. Dia memindai ruangan, melihat tidak ada tanda-tanda keberadaan Rebecca. Tepat saat dia akan bangkit dari tempat tidur, dia mendengar suara tawa. Menaikkan sebelah alisnya, dia mendengarkan dalam diam. Dia bisa memastikan itu adalah suara cekikikan pelan Rebecca.

Memutar matanya, Freen menguap dan meregangkan lengannya. Dia melirik pada Maggie, yang masih terlelap di balik selimut. Tentu saja dua orang yang merupakan penidur berat akan menjadi yang terakhir bangun.

"Mags." Bisik Freen, berguling dan menepuk bahu gadis kecil itu. "Maggie, waktunya bangun." Dia tertawa. Gadis kecil itu mengerjap beberapa kali dan duduk.

"Apa sudah pagi?" Maggie memeluk boneka kelincinya ke dadanya dan menatap ke sekeliling ruangan.

"Iya." Angguk Freen, berguling turun dari kasur dan menyisirkan jemarinya di rambutnya melalui cermin. "Semuanya sudah berada di lantai bawah."

"Ayo!" Maggie tersenyum, menghambur dari tempat tidur dan meraih tangan Freen. Gadis bermata hijau praktis diseret menuruni tangga, dan dia melepaskan tangannya dari cengkeraman gadis yang lebih kecil begitu mereka tiba di ruang tamu.

Dia mengangkat alisnya saat melihat seluruh keluarganya berdesakan di sofa. Rebecca duduk di lantai di depan TV, menontonnya dengan saksama. Sebelum Freen sempat bertanya apa yang sedang dilakukannya, dia dipeluk oleh Chris dan Taylor.

"Kamu sudah tidur saat aku pulang." Taylor cemberut begitu mereka melepaskan pelukan. "Aku merindukanmu."

"Aku juga merindukanmu. Tapi aku di sini sekarang." Freen tertawa. Dia menaikkan sebelah alisnya saat dia mendengar Rebecca dan orangtuanya menertawakan sesuatu di TV.

"Apa yang mereka tonton?" tanya Freen, melirik ke bawah pada adiknya. Taylor dan Chris menyeringai dan saling bertukar pandang.

"Apa?" Freen tertawa gugup, menyerah mendapatkan jawaban dari mereka dan berjalan menuju ruang tengah. "Kalian pasti bercanda."

"Kamu imut, PiFin." Rebecca cekikikan, melompat berdiri dan berjalan menuju pacarnya. "Lihat? Kamu imut." Dia menunjuk pada layar, dimana video buram Freen semasa bayi sedang bermain.

"Ayolah guys." Freen menatap pada orangtuanya, memberi isyarat pada layar "Sungguh?"

"Rebecca memilihnya." Ayahnya tergelak, mengangkat tangannya ke atas seakan dia menyerah. Freen memutar matanya.

"Seperti aku harusnya mempercayainya." Dia mengerutkan hidungnya, berputar kembali pada Rebecca dan memperbaiki posisi beanie di kepalanya. "Bagaimana tidurmu?"

Rebecca mengangkat bahu dan menunduk menatap kakinya, merasa tidak nyaman membicarakan tentang mimpi buruknya di hadapan orang lain selain Freen. Gadis bermata hijau dengan cepat paham dan menggelengkan kepalanya, mendaratkan ciuman pada pipi Rebecca.

"Bagaimana kalau kita sarapan saja?" Freen dengan cepat bergerak ke arah TV dan mematikannya sebelum mereka bisa protes. Rebecca cemberut, tapi Freen mengalihkannya dengan menggenggam tangannya dan menuntunnya menuju dapur.

Setelah Rebecca menunjukkan kepada seluruh anggota keluarga bagaimana dia bisa memecahkan telur, ayahnya membuatkan mereka semua wafel cokelat. Freen memperhatikan bagaimana Rebecca masih tidak makan sebanyak biasanya. Mudah-mudahan hal itu akan hilang sekarang karena dia tidak minum obat-obatan.

BLUE - FreenbeckyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang