Freen menggenggam tangan Rebecca sepanjang perjalanan, merasakan hatinya patah setiap kali dia mendengarkan gadis yang lebih kecil itu menarik nafas gemetar. Dia bisa merasakan kalau Rebecca masih panik.
Mereka hanya berkendara beberapa menit sebelum mereka mencapai jalan setapak berkerikil. Memandu sebaik mungkin, Freen mengarahkan mereka ke atas bukit yang curam sampai mereka berhenti.
"Kemarilah." Bisik Freen, bergegas memutari mobil dan membuka pintu penumpang. Rebecca mendongak perlahan dengan ekspresi kebingungan di wajahnya.
"Percayalah padaku." Ucap Freen lembut, mengulurkan tangannya pada Rebecca. Takut-takut, gadis yang lebih kecil menyambut tangannya dan membiarkan Freen membantunya keluar dari mobil. Saat itu, hari baru saja beranjak gelap, memberi langit kabut biru yang menakutkan.
"Sebelah sini." Freen meremas tangan Rebecca dan meneruskan menuntun mereka melalui jalan setapak berkerikil. Rebecca beringsut mendekat padanya, memegang erat lengan baju Freen.
"Tepat waktu." Freen menghela nafas lega, bergegas menuntun Rebecca ke ujung jalan setapak dan di hadapan tempat terbuka. Rebecca mengerutkan keningnya saat mereka sampai di sebuah tebing kecil. Di bawah, dia hampir tidak bisa melihat bentuk kota.
"Ayo duduk." Gadis bermata hijau menarik tangan Rebecca dan duduk di atas rumput di tengah tempat terbuka. Masih merasa takut, Rebecca duduk di samping pacarnya.
"Ada begitu banyak hal diluar sana, BB." Ucap Freen setelah beberapa saat dalam keheningan. Dia menyadari betapa gemetar tubuh Rebecca, dia menarik gadis itu ke pangkuannya.
"Aku tahu itu terasa sangat nyata." Bisiknya, menyandarkan dagunya pada pundak kepala Rebecca dan memandangi kota yang gelap. "Dan mungkin itu nyata pada satu titik. Tapi itu sudah menjadi masa lalu sekarang. Dan aku tahu mungkin sulit untuk memahami itu saat semua hal itu terus datang kepadamu, tapi kamu harus tetap melangkah maju."
Dia menghentikan kalimatnya sebentar untuk memeriksa ponsel, dengan cepat menepuk bahu Rebecca dan menunjuk kota. "Lihat ini." bisiknya, mengawasi waktu.
Beberapa saat kemudian, sebagian kecil kota berkedip-kedip sebelum menyala. Tak lama kemudian, seluruh jalanan kota menyala dengan sendirinya, berpendar di langit malam yang gelap. Mata Rebecca melebar dan dia sedikit menegakkan duduknya.
"Woah." Bisik Rebecca, menyeka matanya saat seluruh kota bersinar di depan matanya.
"Mungkin kelihatannya dunia seperti itu saat ini." bisik Freen, mengelus rambut Rebecca. "Tapi itu hanyalah sebagian kecil darimu. Masih ada begitu banyak di luar sana."
Perlahan, Rebecca mengulurkan tangan dan menyentuhkan jemarinya pada pipi Freen, mengelus rahangnya. "Kamu nyata, kan?" tanyanya pelan, mempelajari cara mata Freen bersinar dalam cahaya lembut.
"Tentu saja aku nyata." Freen tertawa pelan. Rebecca menarik tangannya dan mengangguk, menyandarkan kepalanya pada bahu Freen.
"Bagus." Gumamnya, menutup matanya dan menarik nafas dalam.
"Apa kamu mau membicarakan tentang itu?" tanya Freen hati-hati, mengangkat tangannya ke atas untuk mengelus punggung pacarnya.
"Dia lagi." Gumam Rebecca. Ada sesuatu yang lain pada suaranya. Sesuatu yang belum pernah Freen dengar. Kebencian.
"Pamanmu?" tanyanya lembut. Rebecca mengangguk di bahu Freen.
"Dia mabuk." Gusar Rebecca, meremas matanya menutup.
"Katakan saja." Seru Freen, membuat Rebecca terkejut. "Katakan, Becca. Katakan saja."
"Katakan apa?" Rebecca perlahan mendongak.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLUE - Freenbecky
أدب الهواةBuku kedua dalam Yellow Series Cerita ini bukan miliki saya, hanya terjemahan dan konversi dari buku berjudul Blue → camren yang ditulis oleh @txrches. Setelah perjalanan yang panjang dan lama, Freen akhirnya yakin bahwa dia dan Rebecca telah mencap...