Trigger Warning – Ada penganiayaan/kekerasan digambarkan dalam bab ini. TOLONG jangan membacanya kalau bisa memicumu dalam satu atau lain hal. Kalau kamu memilih untuk melewatkannya, kamu bisa mulai membaca saat huruf italik (flashback Rebecca) berakhir.
Rebecca berdiri di depan cermin, menyeka dengan sembarangan riasan di wajahnya. Dia bahkan tidak pernah ingin pergi ke pesta bodoh, tapi para gadis di tim cheer meyakinkannya untuk ikut. Meskipun begitu mereka sampai di sana dia ditinggalkan. Tidak memiliki seorang pun untuk diajak bicara, Rebecca berjalan pulang. Kehujanan.
Dia gusar, menekuk jari-jari kecilnya di sekitar tepi meja dan menundukkan kepalanya untuk menarik napas panjang. Seakan harinya tidak bisa lebih buruk lagi, dia mendengar langkah berat datang dari anak tangga.
Dengan panik, dia mematikan tombol lampu dan menempelkan punggungnya pada pintu kamar mandi. Saat langkah kaki itu semakin dekat, dia bisa merasakan jantungnya berdegup kencang. Jangan sekarang. Jangan malam ini.
Langkah kaki itu berhenti sejenak di luar pintu, dan beberapa saat kemudian suara pamannya yang keras muncul beberapa inci jauhnya dari telinganya.
"Kemana saja kamu?"
Rebecca meringis, memejam matanya menutup. Hanya berdiam diri. Pamannya mungkin pada akhirnya akan menyerah dan turun ke bawah. Sialnya, dia tidak bisa menahan dirinya sendiri terkesiap saat pamannya membantingkan tangannya ke pintu.
"Patricia, kemana saja kamu?" suaranya rendah dan mengintimidasi. "Keluar sini. Sekarang."
Rebecca gemetar. Mengatupkan rahangnya, perlahan dia berbalik dan membuka pintu. Langsung saja, dia mencium aroma alkohol dari nafas pamannya. Itu membuatnya mual.
"Aku hany-"
"Jangan." Pamannya memotongnya, melangkah maju. Rebecca merespon dengan mundur ke belakang, menggigit bibirnya saat punggungnya menempel pada dinding. Matanya melesat pada lorong kosong, putus asa untuk mencari jalan keluar.
"Kamu menyelinap keluar lagi?" cibirnya, memiringkan kepalanya ke satu sisi dan mencondongkan badannya ke depan. Rebecca hanya diam. Diam lebih baik dari apapun yang bisa dia ucapkan. "Aku kira kamu mengambil pelajaran dari yang terakhir kali." Erangnya.
"Bicara, Patricia." Pamannya menusuk bahunya dengan jari telunjuknya. Gadis yang lebih kecil itu menarik nafas dalam dan menggigit bibirnya, menghindari matanya. Udara berbau alkohol dan itu menyengat matanya, membendung air mata yang sudah hampir jatuh.
"Tim cheer ingin aku ikut ke pesta..." ucap Rebecca pelan, menundukkan kepalanya. Dia menutup matanya, berharap bahwa dia bisa mengetuk tumitnya dan secara magic membuat segalanya menghilang. Tapi ini bukanlah film. Ini kehidupan nyata. Terlalu nyata, menurut pendapatnya.
"Omong kosong." Bentaknya. Rebecca menarik nafas tajam saat pamannya memegang dagunya dengan tangannya, menariknya maju dan memaksa matanya untuk menatap mata pamannya.
Setelah beberapa detik dalam keheningan yang menekan, Rebecca melirik pada meja kecil di lorong. Matanya mendarat pada fotonya dan bibi Susie, pada salah satu pesta ulang tahunnya. Untuk beberapa alasan, senyum kecil terbentuk di wajahnya.
Meskipun itu berakhir dengan cepat. Begitu pamannya melihat apa yang dia lihat, pamannya mendorongnya ke belakang dan melemparkan bingkai itu ke seberang ruangan. Bingkai itu menabrak dinding, pecah berhamburan ke segala arah.
Tanpa berpikir, Rebecca terkesiap dan lari ke depan, jatuh berlutut dan mengambil foto dari bawah pecahan kaca. Dia berteriak saat sebuah tangan menarik belakang bajunya, menyeretnya naik berdiri. Rebecca bersitatap dengan mata pamannya dengan pandangan memohon.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLUE - Freenbecky
FanfictionBuku kedua dalam Yellow Series Cerita ini bukan miliki saya, hanya terjemahan dan konversi dari buku berjudul Blue → camren yang ditulis oleh @txrches. Setelah perjalanan yang panjang dan lama, Freen akhirnya yakin bahwa dia dan Rebecca telah mencap...