TIGA

1.5K 164 15
                                    

Rebecca mengerutkan hidungnya, berguling mencoba menghindari cahaya membutakan yang menyinari melalui jendela. Beberapa saat kemudian, kesadarannya muncul dan dia duduk dengan cepat. Matanya memindai ruangan dan kepanikan melandanya.

"PiFin?" tanyanya dengan cemas, menatap spot kosong di kasur dimana harusnya Freen berada. Dia berguling di kasur sambil menggigit bibirnya dengan gugup. Kemana Freen pergi? Rebecca selalu bangun lebih dulu.

"Hello?" Rebecca mengeraskan suaranya, mulai menarik selimut dari kasur dan mencari tanda-tanda kemana kemungkinan Freen pergi. "PiFin?"

Dia terlonjak saat pintu kamar terbuka dan Nam muncul, menaikkan sebelah alisnya pada Rebecca.

"Dia ada kelas, Becky, kamu tahu itu." Nam menggosok matanya.

"Dia tidak berpamitan." Rebecca menggelengkan kepalanya dan merosot ke kasur. "Dia marah padaku."

"Atau dia cuma telat." Nam menghela nafas dan berjalan mendekat pada Rebecca, duduk di sampingnya. "Dia akan pulang sebelum makan malam. Dia selalu pulang."

"Aku tahu." Rebecca merangkak kembali di kasur dan menarik selimut, menutupi seluruh tubuhnya. Nam menatapnya penuh tanya.

"Apa yang sedang kamu lakukan, Becky?" Nam tertawa, menyodok sosok dibalik selimut. Rebecca beringsut menjauh dan menggelengkan kepalanya.

"Aku mau tidur. Tolong pergilah." Rebecca menggenggam erat selimut itu di tangannya dan menarik nafas dalam. Dia tidak mau Nam mengetahui seberapa banyak kepergian Freen tanpa berpamitan mengganggunya.

Perpisahan amat sangat menakutkan Rebecca. Tapi pada saat yang sama, juga menenangkannya. Dia sudah melalui terlalu banyak perpisahan di hidupnya. Apa jadinya kalau Freen tidak pernah kembali? Dia bahkan tidak akan ingat kalimat terakhir yang mereka katakan pada satu sama lain.

Nam menghela nafas, memutuskan tidak berusaha membuat Rebecca bergerak. Dia meninggalkan kamar tanpa sepatah katapun, menyebabkan gadis yang lebih muda tersentak saat pintu menutup di belakangnya.

Rebecca mengangkat kepalanya dengan hati-hati dan menggigit bibirnya. Perlahan dia melepaskan diri dari selimut dan berjalan menuju lorong. Musik terdengar dari kamar Nam, dan dia berasumsi kalau Noey masih tidur. Kade dan Freen sama-sama memiliki kelas.

Dalam senyap, Rebecca duduk di lantai dekat pintu dan mengenakan sepatunya. Dia tidak terlalu yakin harus melakukan apa dengan talinya, jadi dia hanya membiarkannya tanpa terikat. Bangkit berdiri, dia memeriksa lagi untuk memastikan tidak ada seorangpun yang melihatnya sebelum menyelinap keluar dari pintu apartemen.

Taman hanya berada di seberang jalan seingatnya. Senyum lembut menghiasi wajahnya saat dia mengingat bunga-bunga yang ditanam oleh Freen di sana. Mereka terlalu sibuk dengan liburan sehingga mereka belum sempat melihatnya lagi. Rebecca menganggap kalau sekarang adalah waktu yang tepat untuk memberikan bunga-bunga itu perhatian.

Dia gemetaran saat sudah berada di luar, melihat mobil yang melintas di jalanan yang sibuk. Mobil itu buruk. Kecuali kamu berada di dalamnya. Kalau kamu tidak berada di dalam mobil, berjalan di sekitarnya tidaklah aman. Freen mengajarinya itu.

Freen juga mengajarinya bagaimana cara menyeberangi jalan agar dia tidak tertabrak mobil. Rebecca mendongak menatap langit dan tersenyum, bahagia karena berada di luar. Cuaca dingin, tapi dia tidak terlalu terganggu.

Dia berdiri dengan sabar di tepi trotoar, melihat lampu di seberang jalan yang memberi tanda padanya kapan dia boleh melintas. Hanya beberapa saat kemudian, lalu lintas berkurang dan lampu berubah warna. Rebecca terkikik semangat dan berlari menyeberang jalan.

Dia dengan cepat mengikuti jalan menuju taman, menambah kecepatannya saat dia sudah dekat dengan pojokan dimana teman bunganya tinggal. Mereka mengingatkannya pada Freen. Cantik dan berwarna. Tapi Freen kesal dengannya, jadi bunga adalah hal terbaik berikutnya.

BLUE - FreenbeckyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang