Enam

344 30 0
                                    

Langit menggelap. Matahari sore sudah tiada. Sudah tenggelam di arah barat dan berganti malam yang cerah.

Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan sosok perempuan cantik yang tengah menunggu sendirian.

Rendi dan Hana menurunkan kaca mobil untuk melihat Rara di dekat mereka. Rara melihat seisi mobil gang sepertinya sudah penuh. Wajahnya jadi terlihat tidak enak.

"Duhh kayaknya mobilnya penuh, saya naik motor aja ngga papa," ujarnya merasa tidak enak jika keberadaan dirinya membuat sesak yang lain.

"Tenang aja, Teh! Masih cukup." Hana turun dari mobil kemudian menurunkan sandaran dan naik ke kursi belakang bersama Depita dan Julie.

Kini satu kursi dikosongkan untuk Rara seorang. Akhirnya Rara pun naik ke dalam mobil dan duduk di samping Yudis. "Sorry, Han, kamu jadi harus pindah ke belakang. Atau kita tuker tempat aja?"

"Ngga usah, ini masih longgar kok!" jawab Hana.

Usai masalah kursi selesai. Rendi bersiap untuk menjalankan mobilnya. "Okey kita berangkat ya!"

Di bawah arakan bintang, terdapat sebuah jalan yang selalu ramai pengunjung setiap malam. Berlalu lalang melewati jalan legendaris yang terdapat toko-toko di sepanjang jalannya.

Lampu-lampu antik itu menerangi jalanan juga bangku-bangku yang terjejer rapi di trotoar.

Mereka semua telah keluar dari dalam mobil. Berjalan bersama menuju pusat keramaian. Bahkan sebelum sampai titik itu, Hana sudah mangkir di salah satu pedagang yang menjual kerajinan berupa gantungan kunci.

"Ini berapaan, Pak?" tanyanya sambil melihat-lihat gantungan kunci yang terpajang.

"Sepuluh ribu dapat lima. Boleh pilih yang mana saja, tapi kalau sama yang 'orang-orangan' jadinya dapat tiga, Mba," jelas sang bapak penjual.

Hana membulatkan bibir sembari mengangguk-angguk. Gadis itu mengambil beberapa gantungan kunci yang menurutnya menarik juga termasuk 'orang-orangan' itu.

Depita yang tadinya berjalan beriringan dengan Hana pun mulai merasakan ketidakhadiran gadis itu di sampingnya.
"Lah tuh bocah kemana?"

Akhirnya dia berhenti dari rombongan di depannya. Menyisir sekeliling untuk menjumpai teman kost nya.

"Oyyy!"

Tiba-tiba dari arah belakang, Hana berlari kecil sembari melambai kepadanya. Depita berbalik badan menatap Hana khawatir setengah kesal.

"Lo kemana? Tiba-tiba ngilang gitu aja!" sungutnya.

Bukannya merasa bersalah, Hana malah menyengir kuda. Gadis itu mengangkat tas kertas kecil berisi gantungan kunci. "Habis beli ini."

"Apaan?"

"Gantungan kunci. Buat oleh-oleh Papa sama para abang."

Depita berdecak, "Ada-ada aja."

Alhasil mereka berdua terpisah dengan yang lain. Meskipun mereka berdua sudah lama merantau kemari, jarang sekali keduanya untuk sekedar berlibur sejenak dari tugas-tugas.

"Ngga sia-sia gue kuliah di sini," celetuk Depita.

"Yakali sia-sia. Pakainya juga jalur ujian, mana harus extra," kekeh Hana.

Keduanya sudah berjalan sampai tengah-tengah namun tak kunjung menemukan mereka. Depita pun menyuruh temannya untuk duduk dan menghubungi keluarganya.

"Duduk dulu, Han. Coba hubungin abang lo," suruhnya.

Baru saja ketika Hana akan mendial nomor salah satu dari mereka. Yudis ada sebagai objek di depan sana. Pria itu sepertinya tengah bersantai.

"Itu Kak Yudis!" Hana menarik pergelangan tangan Depita menuju tempat Yudis berada.

"Kalian kemana? Dicariin ngga ada," sembur Yudis saat melihat kedua gadis yang ia kenal mendekat padanya.

Depita menyenggol pelan teman di sampingnya. "Ini nih gara-gara Hana yang mampir-mampir dulu."

Hana mencari-cari anggota yang tersisa. "Yang lain mana?"

"Pada nyebar ngga tau beli apa," kediknya.

"Papa sendirian?" Hana khawatir.

Yudis menggeleng. "Ditemenin sama Bang Rendi."

Gadis itu pun menghela napas lega. Setidaknya Papa nya tidak akan tersesat di  antara keramaian. Melihat Yudis yang hanya duduk membuat alis Hana terangkat. "Kak Yudis sendiri ngga belanja sesuatu?"

"Nanti aja. Aku ngga mau sia-siain objek di sekitar," katanya sembari mengeluarkan kamera. Ah iya, pekerjaannya sebagai fotografer membuat ciri khas itu tak hilang meski sedang berlibur.

Hana menoleh pada temannya yang masih setia berdiri di sampingnya. "Lo kalau mau beli sesuatu pergi aja ngga papa. Gue nunggu di sini sama Kak Yudis."

"Yaudah, tapi kalian jangan pergi kemana-mana. Jangan ninggalin gue," kata Depita takut -takut ditinggal begitu saja.

"Gue tinggal beneran nih!" Hana malah sengaja.

"Yaudah gue pulang naik taxi." Depita menyilangkan kedua tangan lantas melenggang pergi meninggalkan Hana yang tertawa geli.

Gadis itu membuka layar ponselnya menyambungkan jaringan bluetooth ke headphone yang selalu ia bawa. Sebelum itu ia melirik Yudis, memastikan pria itu masih berada di sekitarnya.

Ia memasangkan headphone yang melingkar di atas kepalanya dan berujung di kedua telinganya. Wahh rasanya benar-benar nyaman mendengarkan lagu favorite sembari duduk di antara keramaian  dan melihat lalu lalang jalanan. 

Kemanapun ia pergi, rasanya tidak bisa jauh dari headphone yang belum lama ia beli di kota ini.

Bibirnya ikut melantunkan lirik meski suaranya tak terdengar. Seolah dunia miliknya sendiri bersama lagu yang ia dengar.

Yudis yang semula memotret keramaian malam di jalan Malioboro. Ia mengecek notifikasi dari ponselnya. Tiba-tiba kelopak matanya melebar usai membaca pesan dari seseorang.

Pria itu pun mengetikkan balasan dengan cepat sambil melihat-lihat segala penjuru. Matanya juga tidak sengaja berpapasan dengan Hana yang tengah mendengarkan musik.

"Kak Yudis ngapain dah? Kayak nyari-nyari seseorang," gumam Hana kemudian menurunkan headphone sebatas leher yang tertutupi oleh rambut panjangnya.

Gadis itu beranjak dari bangku kayu kemudian menghampiri Yudis di sana. "Ada apa, Kak?"

Yudis merasa tersentak pun menggeleng. "Ngga ada apa-apa. Emang kenapa?"

Hana mengerutkan keningnya bingung, "Kak Yudis kayak nyariin orang."

"Engga, cuma lihat-lihat aja. Siapa tau Om Heri atau yang lain udah pada balik," alibinya yang membuat Hana pun percaya-percaya saja kepadanya.

Akhirnya Hana tetap berdiri di samping Yudis menghadap ke arah jalanan. Gadis itu terfokus pada ponselnya, tapi tidak dengan Yudis. Pria itu masih saja mencari seseorang.

Tak lama Yudis pun menemukannya dengan netranya. Segera ia mengetik pesan di layar ponsel.



Arah jarum jam 11, Bang|






Sosok Pria berkaos putih berselimut kemeja hitam itu menilik arah pandang sesuai instruksi. Katanya, tepat angka 11 pada jarum jam. Bukan seseorang yang mengirimi pesan yang ia lihat, namun perempuan bersurai panjang bergelombang dengan headphone yang melingkar manis di lehernya.

Dari kejauhan, ia melihat sosok perempuan yang sudah lama tidak saling berjumpa. Langkah kaki ini membawanya untuk mendekat.

Hana yang semula terfokus pada ponsel pun perhatiannya buyar usai mendengar suara panggilan menyebut namanya dari belakang. Suara yang begitu ia kenal.

"Kak Alan?"





























Bersambung.
4 Juni 2023.

The Girls Dorm (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang