ending

489 25 7
                                    

Dengan membawa sebuah foto usang di tangannya, Hana setengah berlari menuju kos putra di belakang rumahnya. Membunyikan bel sampai Yudis keluar.

"Kenapa, Han? Ada sesuatu?" Yudis langsung mendongnya dengan pertanyaan khawatir.

"Sabiru mana? Gue mau ketemu," ucapnya to the point.

"Dia balik ke hotel. Katanya hari ini dia pulang ke Jogja." perkataan Yudis membuat Hana terkejut.

"Kenapa ngga bilang sama aku? Sabiru pulang gitu aja?" ujarnya dengan raut wajah kecewa. Yudis menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Aku kira dia udah pamitan sama kamu. Udah aku suruh juga."

Hana menghembuskan napas. Ia tahu, pasti saat Sabiru akan berpamitan, dirinya tengah tertidur. Dia tidak ingin menganggu istirahatnya.

Melihat raut wajah putus asa gadi depannya, Yudis memberi tahu akan satu hal. "Tapi katanya Sabiru, keretanya ke Jogja berangkat jam tiga sore."

Yudis menilik arlojinya. "Seenggaknya kamu punya lima belas menit dari sekarang."

Entah mengapa setelah mengingat foto ini dan mengaitkannya dengan Sabiru, ia ingin bertemu pria itu. Walau hanya beberapa menit.

Hana berbalik ke rumahnya. Ia tidak sengaja berjumpa dengan Alan yang tengah membawa nampan berisi makanan.

"Hana? Kenapa lari?" katanya melihat Hana setengah berlari tadi.

Gadis itu mendekat. "Kak temenin aku ke stasiun."

Alan mengerutkan keningnya. Untuk apa Hana memintanya untuk menemaninya ke stasiun?

Seolah mengerti raut wajah Alan, Hana pun menjelaskannya. "Ada hal penting yang harus aku bicarain sama Sabiru. Tapi dia ternyata pulang ke Jogja hari ini."

Rupanya tentang Sabiru.

Alan jadi teringat kala-kala ia melihat rasa kekecewaan di wajah Sabiru usai dirinya mengucap sumpah pernikahan dk rumah sakit.

"Jadi bisa kan, Kak?" Menatap Hana yang memohon, mau tak mau membuat Alan mengangguk menyanggupi.

Kedua pria sebaya yang tengah berdiri di lobi dengan membawa masing-masing satu ransel itu hendak mengantri di loket check in tiket.

"Mana sini tiket lo sekalian," ujar Keano lantas mengambil selembar tiket kereta milik Sabiru bersamaan dengan kartu identitasnya.

"Sab, kalau tiba-tiba Sabrina ke sini gimana?" celetuk Keano tiba-tiba membuat Sabiru menoleh padanya.

Jujur saja, ia berharap itu akan terjadi. "Nggak mungkin, Ke."

Sabiru membuka tas kecilnya. Ada satu barang berharga di dalamnya dan mengambilnya. Sebuah hadiah kecil darinya untuk Hana yang belum sempat ia sampaikan sampai sekarang bahkan mungkin selamanya.

"Langit!"

Langkah kaki Sabiru terhenti. Mendengar seruan nama kecilnya. Meskipun ia tahu pemilik nama Langit bukan hanya dirinya, tapi ia yakin, panggilan itu tertuju padanya.

Tubuhnya mematung kala tahu siapa yang menyebut namanya. Iya. Dialah Sabrina Hanafira. Gadis yang telah berhasil mengusik perasaannya selama ini.

Keano menyenggol tubuhnya pelan. "Cepetan samperin! Sebelum terlambat!"

Tanpa berpikir dua kali, Sabiru berjalan mendekat. Dia melirik Alan yang berada di belakang tubuh Hana. Seketika ia menjadi ciut. Hana yang saat ini telah menjadi milik orang lain sepenuhnya.

"Langit. Itu nama lo kan?"

"Lo tau darimana?" seingatnya, Hana tidak pernah mengetahui nama kecilnya meski pernah bertemu tanpa di sengaja waktu itu.

Hana menarik sudut bibirnya. "Lo lupa? Kita pernah ketemu di Borobudur waktu kecil." gadis itu menunjukkan foto di genggamannya.

Pria itu terpaku. "Ternyata masih lo simpen," ucapnya dengan nada rendah.

Gadis mengerjapkan matanya. "Maksud lo--"

"Iya, gue masih inget. Kita pernah ngga sengaja ketemu di tangga Candi. Fotografer ngga dikenal tiba-tiba dateng lalu nyuruh kita untuk foto bareng. Dan foto yang gue punya, sama persis kaya lo. Itu pemberian dari nyokap lo sendiri."

Sabiru mengungkapkan dengan gejolak emosional dari dalam dirinya yang selama ini dia pendam. Hana mengetahuinya dan dapat melihatnya.

"Katanya, dengan pemberian foto itu, gue bisa inget kalau gue pernah berteman dengan sosok perempuan bernama Sabrina Hanafira."

Pria itu menunduk. Menyembunyikan wajahnya yang terlalu menyedihkan jika dilihat orang lain.

Perlahan dia mendongak. Memandang Alan meminta izin. "Boleh saya peluk Sabrina sebentar?"

Alan merapatkan bibirnya. Ia jelas tahu bagaimana perasaan Sabiru pada Hana. Namun kali ini, Alan tidak boleh egois. Sabiru adalah pria yang tahu batasan.

"Silahkan," kata Alan menyetujui.

Perlahan namun pasti, Sabiru mendekap erat tubuh perempuan yang ia cintai. Mungkin inilah terakhir kalinya ia dapat menyukai Hana sesuka hatinya.

Suara sambutan kedatangan kereta yang hendak singgah pun berbunyi. Memisahkan dekapan di antara mereka. Sabiru pun mengucapkan kalimat perpisahan. Namun sebelum itu, ada serangkaian kata yang tiba-tiba terucap.

"Selamat ulang tahun, Sabrina."

Hanya itu yang bisa ia sampaikan.

Sabiru tidak akan pernah memberi tahu perasannya baik kini ataupun nanti. Biarkan lekang termakan oleh waktu dengan sendirinya.

Pria itu berbalik arah menuju Keano di ujung sana. Menggenggam erat hadiah kecil yang ada di tangannya. Dia harus pulang. Meski membawa sebuah kegagalan.

Sampai jumpa di Jogja, Sabiru Alinsky.


























T A M A T







































Minggu, 18 Juni 2023
Tertanda, Smoothie_peach

The Girls Dorm (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang