"Lo mau kemana, Sab?" tanya Julie yang melihat Hana sibuk merapikan pakaiannya ke dalam koper.
"Pulang ke Jakarta," jawab Hana pelan.
"Kenapa tiba-tiba?" Julie duduk bersila di tepi ranjang milik Hana.
"Papa gue dirawat di rumah sakit. Gue harus pulang."
Menengok matanya yang sembab, Julie mengerti. Sesuatu yang serius telah terjadi dan Julie tidak bertanya lagi. Dia dengan inisiatif membantunya. "Gue bantuin."
"Naik kereta?" Hana mengangguk.
"Jam berapa?"
"Nanti jam lima sore." Itu artinya tiga jam lagi Hana harus berangkat ke stasiun.
Usai semuanya beres, Julie masih setia menemani Hana di kamarnya. Dia ikut merebahkan tubuhnya di samping Hana. Keduanya sama-sama menatap langit-langit polos.
"Kak Alan tau kepulangan lo ke Jakarta?"
Hana baru ingat. Alan belum mengetahui kabar tentang ayahnya. Sesaat dia akan mengabari, dia mengurungkan niatnya. Mungkin jangan dulu, Alan benar-benar sibuk dalam kerjanya.
"Dia ngga tau."
Julie tidak bertanya lebih lanjut karena itu adalah keputusan Hana. Bukan bagian dalam urusannya.
"Udah makan?" tanya Julie.
Hana menoleh pada Julie yang ada di sampingnya. Gadis itu tersenyum simpul. Mana yang katanya sifat Julie itu cuek? Justru saat hanya ada Julie dan Hana, gadis itu bisa melihat kehangatan dari pancaran matanya.
"Belom. Lo sendiri?" Julie menggeleng.
"Yaudah ayo kita makan bareng aja," ajaknya.
Dan mereka benar-benar melakukannya.
Ruang makan. Di sinilah keduanya duduk manis menyantap makanan masing-masing. Jujur saja, baru kali ini Hana sedikit canggung dengan Julie. Dia nampak menjadi pribadi yang berbeda dari biasanya.
"Julie," panggil Hana yang jawab dengan menaikkan satu alis.
"Gue tau sebenernya lo peduli sama orang lain dengan cara lo sendiri." Julie hanya diam.
"Pertahanin terus ya," kata Hana sambil melempar senyum lantas melanjutkan makannya. Diam-diam Julie menyunggingkan senyumnya.
🏙🏙
Depita sudah pulang dari kampusnya. Pulang-pulang ngeliatin koper dan segala tetek bengeknya ada di ruang tamu, membuatnya heboh.
"Ini koper siapa? Siapa yang mau pergi?" tanyanya heboh.
Julie dan Hana datang bersamaan. "Sabrina mau pulang ke Jakarta."
Sontak Depita menatap rekannya yang satu lagi. "Serius, Han?" Gadis itu mengangguk membenarkan.
"Memangnya ada apa, sih?" Akhirnya mereka bertiga duduk bersama di ruang tamu. Sembari menunggu taxi yang sudah Hana pesan tadi.
"Papa gue dirawat di rumah sakit." Mendengarnya membuat Depita memandangnya sendu. Bahkan sejak kedatangan ayah Hana waktu itu, dia menganggap bahwa pria itu seperti ayahnya sendiri.
"Semoga Papa lo cepet sembuh," ucapnya tulus.
"Aamiin."
Melihat koper itu lagi, Depita bertanya, "Berarti lo pulang sama Kak Alan?"
"Naik kereta. Sebentar lagi taksinya datang," jawabnya tenang. Depita menaikkan satu alisnya. Apakah itu artinya Alan tidak tahu kalau ayahnya sakit?
Bunyi klakson mobil menginterupsi mereka bertiga. Hana pun menarik kopernya sampai teras rumah. Gadis itu berpamitan dengan saling berpelukan sekilas.
"Gue pamit dulu ya, baik-baik lo semua!" seru Hana sembari melambaikan tangannya.
"Yo! Hati-hati! Kalau dah sampai, kabarin!" jawab Depita dengan seruan pula.
"Tempat tujuan Stasiun Tugu, betul Kak?" tanya sang sopir kala pria itu masuk ke dalam taxi setelah mengusung koper ke bagasi. Hana menjawab membetulkan. Mobil taxi itu pun akhirnya melenggang pergi dari jalanan depan rumah kos.
Di separuh perjalanan, Hana bertukar pesan dengan Rendi mengenai kondisi Sang Papa. Katanya, Papa akan melakukan diagnosa.
Hana meletakkan ponselnya ke dalam tas. Menatap jalanan sore yang selalu ramai. Ia berharap hasil diagnosa Papa masih dalam kriteria penyakit ringan.
Usai membayar ongkos kepada sang sopir, Hana menyeret kopernya menuju lobi. Dia harus mencetak tiketnya yang masih berupa tiket online.
Mesin printer mengeluarkan selembar kertas dan kemudian ia ambil. Hana melirik jam tangannya sesekali. Rupanya sebentar lagi. Maka dari itu lebih baik dia langsung menunggu di peron.
Gadis itu mendudukkan di antara orang-orang di sebelahnya. Tiba-tiba ada seorang pria tua mengajaknya berbicara. "Mau kemana, Mba?"
"Ke Jakarta, Pak."
"Ohh. Anak bapak juga ada di Jakarta. Lagi merantau untuk kerja,"katanya dan Hana merespon dengan anggukan sopan.
"Kamu mau merantau juga ya?"
Hana meringis. "Oh engga, Pak. Rumah saya memang di Jakarta. Justru saya merantau ke sini."
"Ohh ... mau pulang ke rumah orang tua ya?" Hana mengangguk.
Pria tua itu menghela napas, "Beruntung sekali orang tua kamu memiliki anak seperti kamu. Masih ingat sama kampung halaman. Kalau anak bapak, ngga tau kapan dia bisa pulang."
"Tapi walaupun seperti itu, bapak bangga sama anak bapak karena berhasil meraih cita-citanya."
"Alhamdulillah, Pak. Pasti anak bapak orangnya pekerja keras," jawab Hana.
"Ucapan kamu benar. Usahanya memang sangat keras. Sampai bapak suka ngga tega lihat dia sakit karena lupa makan saking giatnya belajar. Makanya sering bapak bilangin tentang kesehatannya. "
Hana memandang bapak di sampingnya. Seolah sosok Papa ada di dalam raga pria itu. "Bapak ternyata mirip sama ayah saya ya? Suka ngasih wejangan 'jangan sampai telat makan'."
Pria tua itu tertawa pelan. "Semua orang tua itu ngga mau anaknya kenapa-napa. Apalagi sakit."
"Tapi kalau bapak yang sakit, malah bapak ngga mau anak bapak tau."
"Kenapa, Pak?"
"Anak bapak itu orangnya sibuk banget. Makanya, selagi sakitnya masih bisa diatasi sendiri, kenapa harus ngerepotin anak?" jawabnya membuat Hana diam.
Kali ini ia tahu kenapa Papa selalu ingin terlihat baik-baik saja meski raganya tidak mendukung.
Suara datangnya kereta di salah satu lajur rel membuat Hana harus bersiap-siap beranjak dari kursi. Berpamitan kepada sang pria tua. "Semoga selamat sampai tujuan."
Menyeret kopernya menuju gerbong yang tertera dalam tiket. Sebelum naik ke dalam kereta, Hana memandang objek di belakangnya.
Entah mengapa, perasaannya mengatakan bahwa Hana akan kembali ke Jogja dengan kondisi yang berbeda.
Bersambung.
14 Juni 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
The Girls Dorm (Selesai)
Novela JuvenilIni adalah sequel cerita 'Saya Terima Kost Putra' Setelah sekian lama menjadi pemilik kost, justru kini Hana menjadi anak kost-nya. Dia berjumpa dengan teman-teman baru yang sekarang tinggal satu atap dengannya. Seperti kisah sebelumnya, setiap pen...