"Setelah ujian selesai, gue mau healing ke Jakarta, lo ikutan ga?" kata Keano saat sedang berjalan menuju parkiran.
"Ngga dulu," kata Sabiru menolak.
Beberapa hari ini, Sabiru tidak melihat helai rambut Hana sedikitpun. Membuatnya ingin terus mencari tahu.
"Cari siapa? Sabrina?" tebak Keano seratus persen benar.
Sabiru menyilangkan tangan di depan dada. "Lo ada kabar tentang dia?"
Keano menggeleng. "Chat gue dari kemarin aja ngga dibales. Kayaknya dia bener-bener off."
Akhirnya mereka memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Sabiru menjalankan motornya melesat di jalanan kota.
Dia menghentikan motor kala palang pembatas rel kereta diturunkan. Mengharuskannya menunggu beberapa menit sampai kereta itu datang dan habis.
Kala kereta di depannya melaju kencang. Pikirannya terlempar pada sosok Hana. Gadis tanpa kabar itu membuatnya cemas. Apakah ada sesuatu yang menimpa dirinya? Mengingat Hana adalah orang yang rajin berangkat dan tekun belajar.
Gerbong paling akhir sudah melewati palang pembatas yang perlahan naik ke atas seperti semula.
Sabiru tidak benar-benar berjalan lurus. Pada akhirnya, dia berbalik arah. Arah menuju rumah kos Hana.
Pria itu baru menyadari ada tombol bel di dekat pintu. Lantas ia menekannya sehingga tak lama salah satu penghuninya membukakan pintu.
"Permisi, Saya Sabiru. Temen kampus nya Sabrina," ucapnya sopan memperkenalkan diri. Rupanya perempuan itu adalah Julie.
"Sabrina ada di rumah ngga?"
"Sabrina pulang ke Jakarta. Dia belum ngabarin?" tentunya Sabiru menggeleng jujur. Selama ini, Hana tidak berkomunikasi lagi dengannya.
"Kalau boleh tau, Sabrina pulang ke Jakarta karena apa?"
Julie menghela napas. "Saya ngga tau ini boleh dibocorin atau engga. Tapi keliatannya kamu temen deket Sabrina, jadi Saya kasih tau. Ayahnya Sabrina dirawat di rumah sakit, makanya dia pulang."
Ah Sabiru baru tahu akan hal itu. "Kapan dia ke Jakarta?"
"Dua hari yang lalu."
Setelah mendapat informasi yang jelas, Sabiru berpamitan. "Kalau begitu, saya permisi dulu. Makasih untuk informasinya."
Malam hari telah tiba. Sabiru tengah mengeringkan rambut dengan handuknya lantas meletakkannya di jemuran kecil di dekat kamar mandi. Langkah kaki membawanya menuju ruang makan. Di sana mama papa nya sudah bersiap untuk makan malam.
"Nih mama bikinin makanan kesukaan kamu," kata sang ibunda menunjukan masakan favorite putranya, tumis udang brokoli.
"Dari aromanya udah enak banget," puji Sabiru sembari menarik kursi.
"Ya iya lah! Istri siapa dulu!" bangga sang ayah melempar senyum semanis mungkin pada istrinya.
"Iya-iya, si paling bucin," cibir Sabiru.
"Kamu nggak bucin emangnya?" tanya ayah sembari menaik-naikkan alisnya jahil.
"Pa ... ," tegur wanita itu geleng-geleng kepala. Sudah tau suaminya ini suka jahil masih saja Sabiru ladeni.
Mereka bertiga pun akhirnya makan malam dengan tenang. Menikmati setiap rasa dengan teliti. Bahkan sang papa sampai menambah porsi.
Tiba-tiba di sela-sela makan, Sabiru teringat akan sesuatu yang memenuhi pikirannya. Ia memandang satu persatu kedua orangtuanya.
"Ma, Pa, Langit boleh ke Jakarta?" tanyanya.
"Ada acara apa?" tanya Papa balik dengan nada santai.
Jadi, Sabiru harus menggunakan alasan apa? Dia bukan tipe orang yang suka berkeliling kota hanya untuk jalan-jalan dengan sengaja. Orang tuanya juga tau itu.
"Jenguk orang tua temen."
"Kamu punya temen di Jakarta?" kini ibundanya yang bertanya. Sabiru merapatkan bibirnya.
"Temen kampus. Dia anak rantau," jawab Sabiru.
Papa mengangguk-angguk paham. "Yaudah ngga papa. Papa sih setuju-setuju aja."
"Mama ngikut," ekornya.
Sabiru tersenyum senang karena telah mendapat izin. Sejujurnya, sebagai anak laki-laki itu lebih bebas bepergian kemanapun. Namun, Sabiru tetap memegang teguh prinsipnya.
Usai makan malam, Sabiru kembali ke kamarnya. Meraih ponsel di atas nakas dan mendial nomor temannya.
"Oy, Sab. Kenapa?"
"Tawaran lo masih berlaku? Gue ikut."
🏙🏙🏙
Sesuai rencana mereka dari jauh-jauh hari, Alan akan mengajak Hana untuk berkunjung ke rumahnya. Dia juga sudah tidak terlalu sibuk, jadi bisa sedikit meluangkan waktu. Alan tahu ujian semester Hana telah berakhir hari ini.
Pria itu menutup pintu mobilnya bersamaan dengan Rara yang menilik dari balik tirai, siapa yang datang.
"Eh ada Kak Alan," ucap Rara memberi tahu yang lain.
"Sumpah sampe sekarang Hana ngga ngabarin Kak Alan?" ucap Depita pada dirinya sendiri.
Mendengar pintu terketuk, Rara langsung membukakan pintu. Menyapa Alan dengan ramah. "Permisi, maaf menganggu. Boleh ketemu sama Hana?"
Depita meringis pelan, sesekali menoleh ke belakang. "Jadi, Kak ... Sebenarnya Hana balik ke Jakarta. Ayahnya dirawat di rumah sakit."
Alan terdiam. Jika memang seperti itu, mengapa Hana tidak mengabarinya? Meskipun mereka dekat bukan lagi seperti kakak adik, tapi keluarga Hana sudah ia anggap seperti keluarganya sendiri.
"Hana ngga ngabarin Kak Alan mungkin takut ganggu pekerjaan," imbuh Depita.
Usainya Alan langsung pergi berpamitan. Dalam perjalanan pulang, ia terus menghubungi Yudis, yang sekiranya masih bisa senggang. Dan jawabannya pun sama, takut menganggu pekerjaannyan.
Alan memukul setir, mengusap gusar wajahnya. Mengapa mereka tidak mengandalkannya? Alan pasti akan selalu ada untuk mereka.
Bersambung.
15 Juni 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
The Girls Dorm (Selesai)
Teen FictionIni adalah sequel cerita 'Saya Terima Kost Putra' Setelah sekian lama menjadi pemilik kost, justru kini Hana menjadi anak kost-nya. Dia berjumpa dengan teman-teman baru yang sekarang tinggal satu atap dengannya. Seperti kisah sebelumnya, setiap pen...