doea poeloeh tiga

217 20 0
                                    

Papa Heri meraih gelas yang berada di atas nakas dan berusaha menuang air putih di sela-sela batuknya. Entahlah, Papa merasa bantuknya tak kunjung hilang, malah semakin bertambah parah.

Matanya semakin sayu, melakukan sedikit aktivitas saja tenaganya sudah terkuras. Wajahnya juga semakin mengendur seiring waktu.

Papa Heri meminum segelas air yang baru saja di ambilnya. Rendi yang hendak berangkat bekerja pasti selalu menyediakan obat untuk Om nya.

Mendengar batuk yang terus-terusan membuat Rendi semakin khawatir. "Dibawa ke dokter aja ya, Om?"

Pasti Papa heri selalu menolak. Katanya, obat apotek sudah cukup. Iya sesekali batuknya meringan, namun pada akhirnya akan kembali seperti semula.

Pria itu menutupi mulutnya dengan kain agar saat batuk tidak menular ke yang lain. Namun, saat Papa Heri menjauhkan kain itu, terdapat bercak darah. Rendi pun melihatnya.

Untuk kali ini, Rendi harus memaksa Om Heri mau tidak mau. "Om Heri ke rumah sakit atau aku bilangin ke Hana?" katanya dengan sedikit mengancam demi kebaikan Om nya.

Papa menggeleng. "Jangan bilangin ke Hana, nanti dia malah khawatir."

"Rendi ngga bakal bilangin ke Hana asalkan Om mau dibawa ke rumah sakit." Terpaksa Om Heri setuju.

Pagi ini yang seharusnya ia berangkat kerja, dia lebih memilih mengantarkan om nya ke rumah sakit. Rendi yakin, pasti ada sesuatu yang serius.

Dengan mengendarai mobil, Rendi dan Papa berangkat menuju rumah sakit. Selama perjalanan, Rendi terus menoleh pada Papa yang bersandar lemah. Pandangannya juga kosong.

Sesampainya di rumah sakit, mereka berdua mengantri di kursi tunggu poli umum. Meskipun Papa sudah makan walau hanya beberapa suap, Rendi berinisiatif membeli makanan ke kantin.

"Om, Rendi mau ke kantin. Mau makan apa?" tawarnya.

"Om ngga pengen makan," tolaknya.

"Tapi tadi makan aja ngga habis. Om harus makan yang lain. Mau dibeliin bubur? Atau roti?"

"Roti aja, satu. Ngga usah banyak-banyak," ujarnya karena ia tak yakin bisa memakan satu bungkus roti.

"Iya. Om tunggu dulu di sini."

Rendi memasuki area kantin yang masih sepi sebab baru satu dua pedagang yang membuka gerai. Pria itu mengambil dua buah roti dan dua air mineral. Setelah membayar di kasir, dia pun kembali.

Dengan telaten, Rendi membukakan bungkus roti serta tutup botol air mineral. Baru dua gigitan, Papa sudah meletakkan kembali rotinya ke dalam kantung plastik.

Nomor antrian mereka terpanggil melalui layar yang terpajang di tembok atas. Keduanya masuk ke dalam ruangan dimana dokter tengah menunggu.

"Ada keluhan apa, Pak?" tanya Dokter setelah Papa berbaring di atas brankar kemudian memeriksanya dengan stetoskop.

"Awal-awal cuma batuk biasa. Tapi makin ke sini, batuknya ngga sembuh-sembuh," jelas Papa yang diangguki oleh Sang Dokter.

Rendi yang merasa ada hal serius terlewati pun menambahkan. "Batuknya keluar darah, Dok."

Sontak Dokter itu menatap Rendi dengan wajah serius. "Sudah batuk berapa lama?"

"Sudah sekitar dua minggu."

Dokter itu melepas stetoskop dari telinganya. "Kenapa tidak dibawa ke rumah sakit lebih awal?"

Rendi merasa bersalah pun bingung harus menjawab bagaimana. Itu semua juga karena Papa yang selalu menolak. Pria yang tengah berbaring itu pun menjawab, "Saya memang selalu menolak, Dok. Obat-obatan dari apotek juga kayaknya sudah cukup."

"Jadi, Om saya sakit apa, Dok?" tanya Rendi ingin tahu.

"Gejala kanker paru-paru."

Papa dan Rendi benar benar terdiam seperti patung. Rupanya sakitnya separah itu.

"Bapak harus dirawat di rumah sakit. Sebelum itu, bapak harus melakukan diagnosa lebih lanjut."

Papa Heri seperti tidak bisa berkata apa-apa lagi. Usai mendengar penyakitnya, tiba-tiba semangat hidupnya hilang.




🏙🏙




Setelah melewati belajar malam demi malam, Ujian semester pun tiba. Hana benar-benar belajar extra untuk mendapat nilai yang memuaskan. Karena ia tahu tingkat kesulitannya pasti tinggi.

Sekalinya ada ujian, Hana pasti selalu menforsir tenaganya. Matanya seperti panda. Entahlah semenjak akan kuliah sampai sekarang, tingkat keseriusannya dalam belajar meningkat.

Siang ini dia sudah pulang ke rumah kos. Sebelum melanjutkan belajar, Hana mengambil sepotong kue buatan Rara di meja.

Gadis itu menyalakan layar laptop sambil bermain ponsel. Melihat kontak Papa, seketika ada rasa aneh menyelubung. Perasaan cemas.

"Gue telfon kali ya?" gumamnya.

Berulang kali mendial nomor sang Papa, tidak dijawab. Meski ragu, Hana menelepon nomor Rendi.

"Halo, Assalamualaikum, Bang."

"Waalaikumsalam. Kenapa, Han?" jawabnya dengan nada tergesa.

"Lagi di kantor ya? Tadi aku telfon papa ga di jawab-jawab."

"Ee.. Itu. Apa namanya, Abang lagi sibuk di kantor."

"Ohh oke, Bang. Aku cuma ngerasa ngga enak aja dari tadi. Papa sehat kan?" Tidak ada sahutan.

"Bang?"

"Sebenarnya ... Om Heri di rawat di rumah sakit." Rendi tidak bisa untuk berbohong. Hana adalah putri Om nya, tidak bisa menyembunyikan kabar penting begitu saja.

"Di rumah sakit? Papa sakit apa?" ujarnya cemas.

"Sewaktu kamu telfon yang Om Heri batuk-batuk, sampai sekarang belum sembuh."

"Tadi pagi, Om Heri batuk-batuk ada bercak darahnya."

"Kata Dokter, Om Heri mengidap penyakit kanker paru-paru."

Hana merasa lemas. Panggilan dari Rendi sudah tidak ia dengarkan lagi. Ia menjauh ponselnya lantas menelungkupkan wajahnya di antara lipatan kedua tangannya.

Pantas saja, hari ini dia merasa gelisah. Rupanya sang Papa tercinta sedang tidak baik-baik saja.

Hana menghapus air matanya kemudian meraih ponselnya. Mengutak-atik gadget itu.

Dan pada akhirnya tiket menuju ibu kota berhasil ia beli untuk esok hari.







































Bersambung.
14 Juni 2023

The Girls Dorm (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang