doea poeloeh enam

221 20 0
                                    

Tepat hari ujian selesai, sorenya Sabiru datang ke rumah Keano dengan satu tas ransel berukuran sedang berisi segala perlengkapannya.

Begitu juga dengan Keano yang sudah siap. Mereka akan diantar menuju stasiun oleh sopir yang bekerja di rumah Keano.

"Sebelumnya lo tau ayahnya Sabrina dirawat di rumah sakit mana?" tanya Keano saat mereka sudah masuk ke dalam mobil.

Sabiru menggeleng. Bagaimana caranya ia tahu? Bahkan sampai sekarang Hana sulit dihubungi. "Tapi gue tau rumahnya."

Keano menaikkan satu alisnya. Merasa takjub dengan teman dekatnya yang satu ini. "Tau darimana? Udah gercep aja ye lo!"

Sabiru tersenyum miring. Merasa tidak sia-sia membantu dosen kala itu. Inilah keuntungannya. Meski ia ragu, apakah ada salah satu keluarga Hana yang ada di rumah.

"Cepetan coy! Bentar lagi keretanya betangkat!" desak Keano berlari-lari menuju loket untuk check in tiket.

"Hati-hati, Mas!" ingatkan sang petugas kepada Keano yang setengah berlari.

Dan yeah, tubuh Keano mencium bumi dengan elitenya. Sabiru yang selesai check in melihat kawannya tersandung pun hanya bisa tertawa mengejek. Keano sudah meringis-meringis malu menjadi pusat perhatian.

Sabiru mengulurkan tangan membantu. Keano beranjak dari tidur cantiknya sembari menepuk-nepuk lengannya yang terkena debu.

"Bikin malu aja!" Sabiru mengatai temannya.

Masuk ke dalam gerbong. Menyusuri jalan tengah di antara kursi-kursi eksekutif. Mencari tempat duduk mereka sesuai yang tertera pada kertas yang dipegang itu.

Stasiun pun menyuruh kereta agar tak lama untuk singgah. Awalnya sesuai tiket, Keano lah yang duduk di dekat kaca. Namun katanya dia tidak mau dan mereka pun bertukar posisi.

Di saat-saat perjalanan, ada petugas kereta yang menawarkan makanan dan minuman kepada penumpang. Keano yang perutnya sudah keroncongan pun memangilnya.

"Menu-nya ada apa aja, Mas?" Petugas itu memberi satu lembar kertas tebal berisi daftar menu.

Mungkin sudah menjadi ciri khas naik kereta, kalau nggak pesen pop mie ngga bakal afdhol.

"Lo mau pesen apa?" tawarnya kepada Sabiru.

"Pop mie sama coklat panas," jawabnya yang kemudian dicatat oleh petugas itu.

"Baik mohon untuk ditunggu sebentar ya, Kak."

Memang pada dasarnya Keano jahil dia justru menyahut, "Jangan lama-lama ya, Mas. Sudah laper sekali ini!" petugas itu terkekeh sambil mengacungkan jempol.

Karena sedikit yang membeli membuat pesanan mereka cepat di antar. Di hawa dingin ruangan nan panjang, aroma pop mie cepat menguar ke segala penjuru.

Keano tertawa jahat saat anak kecil lewat di depannya menangis minta dibelikan makanan yang sama sepertinya. Sengaja menampilkan ekspresi seolah dialah paling menikmati pop mie.

Sabiru menyenggol Keano dengan sikunya. "Heh! Orang tuanya nyamperin, tau rasa lo!" Keano terkikik.

Sabiru menyesap coklat panas yang berdiri di dekat kaca. Melihat gerbong-gerbong  lain di depannya kala kereta tengah berbelok. Berharap cepat sampai tujuan.



🏙🏙

Kondisi Papa Heri sedikit membaik. Bahkan saat ini dia tengah tertidur usai makan yang disediakan dari rumah sakit. Sama seperti sebelum-sebelumnya, hanya satu atau dua suap saja.

Hana keluar dari ruang rawat inap Papa kemudian melepas maskernya. Tidak boleh terlalu banyak orang yang masuk karena penyakit Papa cukup serius.

Dia berjalan menuju gazebo dimana ada Yudis yang tengah tertidur meringkuk.

Kedatangan gadis itu membuat Yudis terbangun dari tidurnya. Hana jadi tidak enak hati, "Eh ganggu ya, Kak?"

"Engga. Aku emang mau bangun aja," katanya dan Hana mengangguk percaya.

"By the way, kamu dari pagi belum makan. Ayo ke kantin!" ajak Yudis yang tengah duduk bersila.

Hana menolak halus. "Engga deh, Ka. Aku masih belum laper. Nanti aja."

Yudis menggeleng keras lantas beranjak berdiri. Menarik pelan pergelangan tangan Hana. "Ngga ada kata nanti. Kamu harus jagain Om Heri, kan? Jangan sampai ikut sakit juga."

Dengan pasrah Hana ikut bersama Yudis menuju kantin rumah sakit. Keduanya duduk di kursi yang telah disediakan. Sejauh ini, makanan kantin terbilang cukup enak.

"Mau makan apa? Biar aku pesenin," tawar Yudis.

"Bakso!" seru Hana.

Yudis menggeleng. "Harus nasi."

Gadis itu berdecak pelan, menyilangkan kedua tangannya. "Terus gunanya nawarin itu apa ya? Kalau pada akhirnya harus makan sesuai apa yang Kak Yudis suruh."

Pria itu menyengir, "Sebagai formalitas."

"Lagian belum makan apa-apa dari pagi, masa langsung makan bakso? Hana, kita orang Indonesia."

Hana mendelik, "Yang bilang kita orang Amerika juga siapa?"

"Oke nasi kuning!" putus Yudis sepihak lantas melenggang pergi begitu saja. Hana melongo menatapnya.

Tidak perlu waktu banyak, sebuah nampan berisi dua macam makanan telah datang. Yudis menyajikan nasi kuning yang masih hangat itu di depan Hana yang bad mood. "Nahh, dimakan ya nasi kuningnya."

Gadis itu melirik semangkuk bakso di depan Yudis. Emang licik sekali pria di depannya ini. Tunggu saja pembalasan darinya, pikir Hana.

"Enak kan?" ledek Yudis.

"Ya."

Di sela-sela makan, Yudis memulai perbincangan. "Katanya, nanti Gilang mau ke sini."

"Yaudah suruh dateng aja. Aku juga belum tegur sapa lagi secara langsung setelah kuliah," santainya.

Hana jadi teringat akan Alan. "Kak Alan hubungin Kak Yudis ngga? Aku belum sempet megang hp soalnya."

Yudis mengangguk. "Iya, terus aku kasih tau kalau Om Heri lagi di rumah sakit. Tapi ... "

"Tapi kenapa?" Hana ingin tahu.

"Tapi cara bicaranya Bang Alan agak emosi karena ngga ngabarin dia tentang Om Heri dari awal," ujar Yudis pelan.

Gadis itu menghentikan suapannya. Dia terdiam. Ia tahu ini adalah kesalahannya. Pasti Alan merasa bahwa dirinya tidak dipercayai.

"Salah aku sih, Kak," jawabnya pelan.

Yudis menghela napas. "Udahlah, Han. Ngga usah dipikirin lagi. Aku yakin Bang Alan pasti ngerti dan kemungkinan besar dia langsung pulang ke sini."

Iya. Hana harus fokus mengurus sang Papa.

Yudis baru menyadari bahwa kantung mata Hana tebal dan sedikit menghitam seperti panda. "Setelah ini, gantian aku yang jaga Om Heri. Kamu istirahat aja, kayaknya cape banget."

"Engga, Kak. Aku ngga ca--"

"Istirahat atau aku suruh kamu makan nasi kuning lagi nanti sore? Pilih mana?" ancamnya.

"Oke, istirahat," pasrahnya.

Yudis mengacak pelan puncak rambut Hana. Ia benar-benar menganggap Hana seperti adik kandungnya sendiri. Entahlah, sudah sesayang apa Yudis dengan keluarga kos. 






























Bersambung.
15 Juni 2023

The Girls Dorm (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang