"Hah? Sabrina?"
"Maksud lo-- Sabrina Hanafira?" Sabiru diam tandanya tebakannya benar. Wow. Sangat tidak disangka. Bahkan Keano sampai terperangah.
"Tapi dia ngga bakal inget kalau yang ada di foto itu gue," imbuh Sabiru membuat Keano menoleh padanya lagi.
"Lah? Kok bisa? Kalian udah temanan dari kecil, kan?"
Sabiru menggeleng. "Kita waktu itu cuma ngga sengaja ketemu. Kebetulan gue lagi duduk di tangga nungguin nyokap, Sabrina juga ada disitu."
"Tiba-tiba ada fotografer nyuruh kita duduk deketan. Suruh pose juga."
"Dan yeah ... Itulah hasilnya," kediknya.
Keano mengangguk-angguk mengerti. "Tapi kok lo bisa tau kalau ni bocah itu Sabrina yang kita kenal sekarang?"
Seketika, Sabiru melempar ingatan ke belasan tahun yang lalu. Mungkin seorang anak kecil seumurannya akan mudah melupakan hal yang pernah terjadi pada dirinya. Tapi untuk Sabiru, saat itulah yang paling ia ingat.
Kala, itu saat orang tak dikenal membawa kamera, menyuruh mereka untuk berpose, sosok wanita muda datang. Menghampiri gadis cilik itu.
"Hana, mama cari-cari malah duduk di sini," kata wanita itu. Ibunda Hana.
"Aku lagi nungguin Papa," kata gadis cilik itu.
Wanita menghembuskan napas lalu mengangguk menuruti kemauan putrinya. Menyadari ada anak kecil selain Hana, wanita itu menyapanya.
"Halo, sayang. Kok kamu sendirian?"
Sabiru menunjuk ke bawah di mana Ibunya sedang naik tangga. "Lagi nungguin mama."
"Kamu udah kenalan belum sama dia?" tanya wanita itu yang dibalas gelengan oleh Hana.
Sang Mama menggiring tangan Hana untuk bersalaman dengan Sabiru. "Namaku Sabrina Hanafira, kamu siapa?" Saat itu Hana berkenalan masih malu-malu kucing. Berulang kali menyembunyikan wajahnya di tangan sang ibunda.
Bukannya menjawab, Sabiru malah bertanya, "Kenalan kok pake nama panjang?"
Sang wanita terkekeh. "Biar ngga ketukar."
Tiba-tiba sosok fotografer tadi datang kembali membawakan dua lembar foto dan menawarkannya. "Permisi, Bu. Siapa tau mau beli foto putrinya. Cuma lima ribu saja."
"Aku mau ma!" pinta Hana.
Lantas sang Mama sengaja membeli dua lembar foto. Hana kegirangan menerima foto itu. Dan foto yang satu lagi diberikan untuk Sabiru. "Ini hadiah dari tante. Biar inget kalau kamu punya temen baru namanya Sabrina."
Selesai berbicara bertepatan dengan sosok pria muda datang menghampiri dua perempuan itu. "Yuk lanjut ke atas lagi."
Sang wanita dan gadis cilik tadi melambai tangan kecil pada Sabiru sebelum melanjutkan perjalanan. Dan pada saat yang bersamaan, ibunda Sabiru memanggilnya dari tangga bawah.
"Langit! Ajakin temenmu suruh makan." Waktu pun kembali berubah menjadi masa kini usai panggilan ibunda menginterupsi.
Keano yang tengah asik mendengar cerita pun merasa penasaran. "Terus gimana lanjutannya?"
"Ga ada, udah selesai," cueknya. Keano mendesah kecewa.
"Di antara banyaknya foto lo sama temen-temen yang lain, lo lebih milih majang foto kecil sama Sabrina. Pasti ada apa-apa ye kan? Dah ngaku aja lo!" goda Keano membuat Sabiru malas menanggapi.
"Buruan ke ruang makan. Nanti dikira gue ngga ramah sama temen." Pria itu mengalihkan pembicaraan.
Keano pun beranjak dari kursi sembari merangkul temannya sambil menepuk-meluk bahunya. "Dugaan temen itu ngga meleset jauh. Duo 'Sab' ini memang ditakdirkan Tuhan untuk bersatu," ujarnya berlebihan.
"Berisik!"
*****
Menurut kalian, selama di Jogja Alan tinggal dimana?
Jika kalian menjawab dia tinggal di sebuah rumah sendirian, itu benar! Alan mendapat fasilitas berupa rumah dan transportasi. Bahkan kiriman motor sportnya sudah sampai sini.
Layaknya orang rumahan pada biasanya, hari weekend diisi dengan bersih-bersih. Karena Alan menghuni satu rumah full, membuatnya cukup kelelahan.
Alan mendudukkan diri dan bersandar pada kursi ruang kerjanya. Tangannya meraih kacamata yang terletak di sisi kirinya. Pekerjaan begitu menumpuk minggu ini.
Namun sambungan aplikasi chat itu menunjukkan telepon masuk via video. Alan segera memeriksanya. Sudut bibirnya terangkat saat tahu siapa yang menelponnya.
"Assalamualaikum, Kak Alan!" sapa Hana dari seberang.
Alan tersenyum manis, "Waalaikumsalam."
Jarang sekali Hana mau menelponnya lebih dulu. Biasanya mereka lebih sering berkomunikasi melakui pesan dan kemudian bertemu secara langsung.
Dari sini dapat terdengar Depita berbisik jelas meski orangnya tidak terlihat di layar. "Kak Alan kalau pakai kacamata gantengnya nambah ya?"
Hana malah menatap Depita di depannya. "Setelah ini ngomong apa lagi?"
Depita yang merasa gemas dengan asmara malu-malu kucing mereka pun menjawab, "Ya tanyain lah kayak 'lagi apa, Kak?' atau 'udah makan belum?'. Apaan coba telfon cuma bisa kasih salam doang?"
Alan sontak tertawa mendengarnya. "Bicaranya mengalir saja. Jangan dipaksa."
Kali ini Alan yang mengalah dan memancing topik. "Hari ini jadwal kalian apa?"
"Bersih-bersih, Kak. Kak Akan ngapain?" sahut Hana.
"Sama. Saya juga bersih-bersih. Sekarang sedang istirahat karena beres-beres rumah sendirian itu lebih cape daripada sewaktu masih di kos-kos an."
"Ya iya lah, Kak. Dulu kan banyak orang, jadi bisa bagi-bagi tugas."
"Ngomong-ngomong, Kak Alan tuh tinggal di rumah mana?"
"Enggak jauh dari kantor. Rumah ini juga fasilitas yang diberi dari perusahaan."
Hana takjub. "Wow! Hebat dong!"
"Tapi senyaman-nyamannya rumah itu rumah milik sendiri." Hana mengangguk membenarkan.
"Selama ini aku belum pernah liat rumah Kak Alan kayak gimana."
Alan mengangguk-angguk. "Kalau ada waktu luang, saya ajak kamu ke sini."
"Oke!" gadis itu mengacungkan jempol ke layar.
Tiba-tiba Hana jadi ingin bertanya random. "Kak Alan tuh kalau makan gimana?"
"Pakai sendok," sahutnya membuat Hana berseru. Hmmm jokes bapak-bapak mulai keluar nih.
"Ih bukan, maksudku itu beli atau masak sendiri. Kak Alan kayak Papa aku deh!" sungutnya.
Alan terkekeh lantas menjawab agak menyimpang. "Berarti saya udah tua ya?"
Raut wajah Hana jadi berubah merasa tidak enak. "Eh bukan itu maksudnya, Kak."
"Iya, tau, kok! Jawab aja pertanyaan saya," sahutnya kalem.
Waduhh, Hana harus jawab pakai template apa nih? Mode jujur apa mode dusta?
Mau jujur ataupun dusta, semakin Alan bertambah usia menjadikannya lebih berwibawa. Makin ke sini malah makin ganteng itu gimana ya? Maksudnya apa?
"Semua itu tergantung mindset sih, Kak. Tapi kalau dilihat dari angka, Kak Alan masih muda lah ya ampun." Jujur saja saat Hana berkata seperti ini, dia agak gugup takut salah bicara.
Perbincangan tak berlangsung lama. Hana menyudahinya karena akan mengerjakan tugas begitu juga dengan Alan.
Pria itu menjumut kalender di mejanya. Ada satu tanggal yang sengaja ia lingkari dengan spidol. Alan menarik sudut bibirnya.
Alasan bagian flashback itu tulisannya ga dimiringin karena gtw deh, jujur males aja bacain banyak narasi tapi tulisannya miring.
Biasanya aku akan tetep baca kalau emang itu pada saat adegan sambungan telepon.
Bersambung.
13 Juni 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
The Girls Dorm (Selesai)
Teen FictionIni adalah sequel cerita 'Saya Terima Kost Putra' Setelah sekian lama menjadi pemilik kost, justru kini Hana menjadi anak kost-nya. Dia berjumpa dengan teman-teman baru yang sekarang tinggal satu atap dengannya. Seperti kisah sebelumnya, setiap pen...