doea belas

275 26 0
                                    

Hana kira gudang sejarah yang dimaksud Alan adalah the real gudang berisi barang-barang yang sudah lama tidak terpakai. Rupanya bukan. Alan mengajaknya ke sebuah museum.

"Aku ngga expect loh Kak Alan bakal ngajakin ke sini," ujar Hana usai menutup pintu mobil dan mendekat ke arah pria itu.

"Bukannya anak muda zaman sekarang lebih suka jalan-jalan ke tempat-tempat seperti ini?"

Banyak kawula muda menghabiskan waktu luang bersama teman dengan mengunjungi tempat-tempat yang menurut mereka 'aestetic' untuk diambil gambar dan mempostingnya di media sosial. Dan museum adalah salah satu diantaranya.

Hana menyengir, "Jalan-jalannya anak senja."

"Tapi di balik itu bagus juga sih buat ilmu pengetahuan," lanjutnya berkomentar.

"Yaudah yuk kita masuk!" ajak Hana berjalan mendahului.

"Tunggu sebentar," cegah Alan membuat Hana menghentikan langkah dan berbalik badan.

Kening Hana mengerut samar saat Alan melihat telapak tangannya sendiri.Gadis itu menghampirinya lagi. "Tangan Kak Alan kenapa?" padahal tangan pria itu bersih, tak ada yang aneh.

Alan mendongak, mendadak lidahnya kelu. Dia berdehem sejenak. "Boleh lihat tangan kamu?" Dengan santainya Hana menyodorkan tangan kanannya.

Betapa terkejutnya kala Alan menautkan jari-jemarinya ke tangan kiri Hana. Astaga?! Apa ini?! Kenapa Alan membuat jantungnya berhenti mendadak ?!

Jam hitam yang melingkar manis di tangan mereka pun berdering menampilkan detak jantung keduanya.

Naluri perempuan Hana bekerja. Dia mematung menerima act of service semacam ini. Sebelumnya dia akan biasa-biasa jika melakukan ini dengan Papa dan Bang Rendi.

Tapi kali ini rasanya berbeda.

Alan benar-benar tidak bisa ditebak.

"Ayo kita masuk," ajak Alan sedikit gugup.

Tiba-tiba Hana jadi linglung meski langkah kakinya mengikuti kemana Alan pergi. Setelah membeli tiket masuk museum, Alan kembali menautkan tangannya tanpa canggung lagi.

Selama berjalan melewati berbagai benda-benda bersejarah itu, Hana tak fokus. Sesekali dia melirik tautan tangan mereka. Tiba-tiba jadi kepikiran percakapannya dengan para anak kos malam itu.

Tentang sebuah jalinan.

Memang boleh bergandeng tangan seperti ini?

Saat Alan mengajaknya untuk melihat sebuah aksara lama yang terpajang di dinding berlapis kaca, Hana justru melihat siluet wajah Alan dari samping.

Garis wajahnya yang tegas dengan hidung menjulang tinggi dan bulu matanya yang lentik. Baru sekarang ia benar-benar mengagumi seseorang.

Di ujung sana, terdapat sebuah tembok putih berisi coretan kata yang memang sengaja di sediakan oleh para pengunjung yang datang untuk menuliskan nama mereka dengan huruf yang berbeda dari biasanya. Aksara jawa.

"Mas sama mba nya mau nyoba?" tawar penjaga yang berdiri di dekat tembok itu.

"Boleh," kata Alan.

"Kalau belum tahu aksara jawa, mas mba nya bisa melihat di papan kecil sebagai panduan," jelas pria itu. Siapa tau pengunjung yang datang bukan berasal dari daerah Jawa.

Alan memberikan satu spidol kepada Hana. Pria itu selangkah lebih maju dari Hana. Menuliskan nama singkatnya tanpa panduan aksara Jawa. Alan pernah menghafalnya dulu. 

"Coba sekarang kamu," pinta Alan setelah ia menuliskan namanya.

"Tapi ngga tau cara nulisnya mulai dari mana," keluh Hana.

The Girls Dorm (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang