Alunan musik khas stasiun mengudara menyambut kedatangan Sabiru dan Keano di padatnya ibu kota.
"Hari ini sampai beberapa hari ke depan, kita bakal tinggal di hotel. Tenang aja, gue udah booking," kata Keano setelah mereka keluar dari pintu gerbong.
"Untuk urusan makan jadi bagian gue," kata Sabiru berinisiatif.
Sedekat-dekatnya mereka, Sabiru tetap tahu diri. Dia sudah ikut tinggal di hotel yang dipesan Keano, setidaknya dia ikut membantu urusan makan.
"Asikk makan gratis!" seru Keano membuat Sabiru mendecih.
Kini mereka telah menaiki taxi menuju hotel yang akan menjadi penginapan mereka. Bawaan mereka hanya berupa satu tas ransel dan satu tas kecil yang lebih sering dibawa bepergian.
Sesampainya di sana, setelah melakukan check in, keduanya segera naik ke lantai atas menuju kamar. Menjatuhkan tubuh di atas ranjang yang empuk nan halus.
"Cape juga ya. Padahal selama perjalanan cuma duduk," ujar Keano meregangkan otot tubuhnya.
"Namanya juga pergi jarak jauh."
Mereka sampai di Jakarta pada larut malam. Itu artinya keduanya akan mencoba mencari rumah Hana sesuai alamat yang Sabiru dapat besok hari.
🏙🏙
Pagi hari telah tiba, Keano dan Sabiru mencari sarapan di pinggir jalan. Katanya, supaya lebih hemat pengeluaran. Lagipula hasilnya juga sama, berupa feses.
"Bentar, gue mau beli cakwe dulu," kata Sabiru meninggalkan keano yang tengah menunggu pesanan nasi rames mereka.
Setelah sarapan terbeli, mereka kembali ke dalam hotel dengan menenteng berbagai kantung plastik. Agak aneh memang, tidur di hotel berbintang tapi beli sarapan dari luar.
"Enak juga cakwe nya," komentar Keano menjumut lagi cakwe dari plastik.
"Kesukaan gue tuh!" puji Sabiru pada dirinya sendiri.
"Kita ke rumah Sabrina jam berapa?" tanya Keano di sela-sela kunyahan.
"Selesai makan," putusnya.
"Hah?" kagetnya sebab merasa terlalu cepat.
Merasa terus-terusan menggunakan kendaraan taxi, tentu akan boros. Akhirnya Sabiru memutuskan untuk kendaraan yang akan membawanya pulang dan pergi.
"Karena kita lagi di Jakarta, kita harus cobain bajai," kata Sabiru santuy lantas naik ke dalam kursi bagian penumpang.
Keano menatap tidak percaya. "Sab, kalau duit lo nipis pake duit gue aja ngga papa," katanya menawarkan diri.
Sabiru menepuk saku depannya. "Tenang aja, dompet gue masih tebel. Ayo cepet naik!"
Setelah keduanya duduk manis di belakang sopir, Sabiru menyuruh bajai untuk jalan. "Ayo pak jalan."
Meskipun matahari mulai terik, rupanya naik bajai yang melaju di jalanan ibu kota seru juga. Keano beneran merasa healing. Jalan-jalan naik bajai, melihat-lihat gedung tinggi dan gedung-gedung lainnya.
Udara juga terus berhembus pada mereka berdua yang cukup kegerahan. Cobain deh keliling Jakarta dengan bajai. Dijamin seru.
Bajai ini pun berhenti secara perlahan membuat keduanya bingung. "Sudah sampai, Pak?"
"Sudah, dek. Jalan kenanga tiga ada di samping kalian."
Keano melongok menyembulkan kepalanya. Rupanya benar, ada plang nama jalan di dekat gang. Alhasil mereka berdua turun.
Meski sebenarnya mobil bisa masuk gang, tapi sepertinya sopir bajai itu lebih memilih berhenti di tepi jalanan besar di dekat gang.
"Ini Pak ongkosnya. Teimakasih," ucap Sabiru.
Mereka berdua harus berjalan menuju rumah Hana. Dia masih ingat betul alamat rumah gadis itu. Beberapa kali Keano dan Sabiru menengok kanan kiri untuk mengetahui nomor rumah.
"Itu bukan rumahnya?" Keano menunjuk sebuah rumah tertata rapi dengan teras rumah berisi dua kursi dan satu meja.
"Ada orang di dalem," gumam Sabiru melihat sebuah mobil terparkir.
Ketika hendak mengetuk, pintu terbuka tanpa prediksi. Sang pemilik rumah juga tidak kalah terkejut. Dia adalah Rendi.
"Maaf mas nya siapa ya?" tanya Rendi menatap mereka satu persatu.
"Sebelumnya izin bertanya, apa benar rumahnya Sabrina?" tanya Sabiru sopan.
"Sabrina?" beo Rendi.
"Oh maksud kalian, Hana?" Keduanya mengangguk cepat.
"Iya benar, kenapa ya? Hana punya utang? Utangnya berapa? Biar saya lunasin." Rendi malah bikin ngawur. Sabiru mengerut bingung sedangkan Keano tak bisa menahan tawa.
"Kami temen kuliahnya Sabrina." Rendi melebarkan kelopak matanya.
"Kalian sengaja dateng dari Jogja?" Melihat mereka mengangguk lagi membuat Rendi takjub.
"Ada perlu apa?" kini sudah serius.
"Saya dapet kabar kalau ayah Sabrina sakit dan kita berniat mau jenguk."
Rendi menatap mereka terkesima. Sebenarnya sedekat apa pertemanan mereka sampai secara cuma-cuma datang dari luar kota untuk menjenguk?
"Ohh gitu. Kebetulan saya juga mau ke rumah sakit. Mau sekalian?" tawarnya dan Sabiru menyetujuinya.
Keadaan di rumah sakit cukup berantakan. Papa Heri terbatuk sampai sesak nafas. Beliau sampai memegangi dadanya yang merasa sakit. Yudis yang cemas langsung menghubungi perawat. Perawat langsung memasang oksigen agar pernapasan terbantu.
"Ssttt kamu tenang, Om Heri bakal baik-baik aja," ujar Yudis di luar ruangan menenangkan Hana yang sesenggukan.
Yudis merendahkan tubuhnya menatap wajah Hana. "Jangan sampai Om Heri liat kamu nangis, oke?" gadis itu mengangguk pelan.
Hana tidak bisa tenang. Di balik kaca ini, Papa belum membaik. Tubuh renta itu semakin lemah setiap harinya. Kemana senyum Papa yang selalu terlempar padanya?
Yudis yang selalu setia menemani Hana dan Papa memeluk gadis itu dengan hangat. Ia tahu, Hana belum pernah melihat kondisi Papa sakit separah ini.
Bertepatan saat itu, sosok Sabiru datang. Netranya langsung tertuju pada Hana yang terlihat berantakan.
"Sabrina?"
Bersambung.
15 Juni 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
The Girls Dorm (Selesai)
JugendliteraturIni adalah sequel cerita 'Saya Terima Kost Putra' Setelah sekian lama menjadi pemilik kost, justru kini Hana menjadi anak kost-nya. Dia berjumpa dengan teman-teman baru yang sekarang tinggal satu atap dengannya. Seperti kisah sebelumnya, setiap pen...