doea poeloeh sembilan

270 22 0
                                    

Ada satu hal yang mengguncang hati Sabiru. Tidak pernah terlintas sedikitpun di pikiran jika semuanya akan menjadi seperti ini.

Di sudut ruangan ini, Sabiru menyaksikan perempuan yang membuatnya jatuh hati telah menjadi milik orang lain seutuhnya. Berjanji menjalani hidup bersama hingga maut memisahkan di hadapan Tuhan.

Tangannya mengepal kuat. Rahangnya mengeras. Netranya menatap lurus objek di depannya.

Mengapa segalanya baru terjadi setelah Sabiru mencintai Hana sedalam ini?

Baru saja Sabiru memiliki perasaan, sudah harus dipaksa untuk belajar merelakan.

Sedatar apapun ekspresinya, pancaran mata tidak bisa membohongi. Seolah redup dengan sendirinya. Keano yang berada di sebelahnya pun mematung. Dialah yang paling bersemangat untuk menyatukan Sabrina dan Sabiru.

Namun, Keano segera sadar. Ada yang sedang membutuhkan dukungan darinya. Siapa lagi jika bukan teman dekatnya? Sabiru.

Pria itu menoleh pada Sabiru. Mengajaknya keluar dari ruangan. "Ayo, Sab. Kita keluar," ucapnya pelan.

Tubuh Sabiru seolah kaku. Tarikan lengan Keano diabaikan. Daripada terus berada di sini melihat hal yang menyesakkan, Keano merangkul paksa temannya itu. Kegaduhan yang mereka buat menginterupsi yang lainnya. Terutama Alan.

Dibawanya Sabiru ke taman yang cukup sepi. Tidak ada siapapun selain mereka. Tidak akan ada yang tahu kesenduan yang diutarakan Sabiru.

Memandang Sabiru yang hanya diam dengan pandangan kosong membuat Keano frustasi. Pria itu mengguncang bahu Sabiru. "Sab, kali ini lo boleh marah. Luapin semuanya. Gue ngga peduli mau lo sampe toxic kek! Bakal gue jabanin!"

Sabiru menatap Keano kosong. "Harus luapin gimana? Kenyataan udah di depan mata."

"Gue ngga bisa ngelak, Ke," ucapnya pelan.

"Iya gue tau! Tapi-- Argghh! Lo bukan kaya Sabiru yang gue kenal! Mana Sabiru yang cuek? Yang omongannya pedes? Please! Jangan jadi orang bego, Sab!"

Guncangan-guncangan itu membuat Sabiru naik pitam. Dia mencekal kerah kemeja Keano kuat-kuat.  "IYA! GUE EMANG BEGO! KENAPA?!"

Keano mendecih sinis. "Gue baru tau Sabrina punya efek sebesar ini sampai lo lupa kalau lo masih punya otak buat mikir."

"Bukannya lo lebih pinter dari gue? Harusnya lo tau kalau perempuan ngga cuma satu di dunia ini," lanjutnya.

Perlahan Sabiru melepas cekalannya. Tangannya turun tanpa tenaga. Keano mendekapnya hangat layaknya sahabat. Sabiru tidak membalasnya.

"Lo tau ini hari apa?" ucap Sabiru.

Lawan bicaranya menggeleng. Ia tidak tahu maksud hari yang dibicarakan. Meski memungkinkan Sabiru melupakan nama hari ini. Namun keadannya yang sangat tidak memungkinkan.

"Hari ini Sabrina ulang tahun."

Keano memejamkan matanya. Seolah merasakan apa yang tengah Sabiru rasakan. Ia mengerti apa maksudnya.

"Padahal gue udah siapin kado buat dia," katanya dengan senyuman getir.

Keano berbisik pelan di telinga Sabiru. "Sorry, Sab. Ini salah gue."

Seharusnya Keano tidak menjodoh-jodohkan Sabiru dan Hana waktu itu. Seharusnya ia membiarkan mereka untuk tidak saling mengenal. Seharusnya dia tidak menyarankan Sabiru untuk gerak cepat di antara hubungan Alan dan Hana.




🏙🏙



Papa mengangguk lemah dengan senyuman kecil yang tersungging. Keinginannya terwujud melihat Hana terikat komitmen hidup bersama Alan. Dia tidak yakin apakah nantinya ia benar-benar bisa melihat putrinya lagi.

Bukankah menyedihkan melakukan pernikahan tanpa orang tua? Istrinya sudah lama tiada. Jangan sampai Hana merasa sendiri.

Setelah kepergian Hana ke Daerah Istimewa untuk menempuh pendidikan, Alan meminta izin kepadanya untuk pendekatan dengan Hana. Meski pada akhirnya keduanya hanya akan berjauhan.

Papa merasa bahwa hanya Alan yang bisa mencintai Hana sepenuh hatinya. Begitu juga dengan gadis itu.

Ingatan Papa terlempar kembali ke masa-masa dimana Alan datang ke rumah untuk nge kos. Di situ, Hana sudah menunjukkan rasa tertariknya walau dikemas dalam sikap yang kekanak-kanakkan.

Hana menatap Papanya lembut. "Aku udah turutin kemauan Papa. Sekarang gantian, Papa harus turutin kemauan aku."

"Papa harus mendoktrin diri sendiri kalau Papa pasti bisa sembuh, pulang ke rumah trus kita kumpul lagi kaya dulu." Gadis itu menyeka air matanya.

Papa tidak menggeleng ataupun mengangguk. Pria itu hanya diam memperhatikan.

Seketika ia mengingat masa-masa keluarga kecilnya yang masih utuh. Istrinya, putri kecilnya dan Rendi. Menghabiskan waktu bersama.

Kala bercengkerama dengan para anak kos putra. Mengingat kembali bagaimana mereka bisa saling mengenal satu sama lain. Membahas hal-hal random bersama Yudis dan Rendi.

Semua bayang-bayang itu membuatnya tersenyum. Rupanya dia telah menjalani banyak hal dalam hidupnya. Papa merasa bersyukur berada di antara orang-orang yang sangat menyayanginya.

Papa menghirup satu tarikan napas panjang. Menghembuskannya perlahan. Kelopak matanya terpejam seiring hembusan napas itu berakhir.

Hana melihat respon tubuh Papa yang berbeda pun langsung menyadarinya. "Pa?"

Gadis itu menepuk pelan lengan papanya. Tidak ada respon yang ditunjukkan. Menatap perut papa yang tidak ada tanda-tanda naik turun. Meraba dada kiri pria itu, berusaha merasakan detak jantungnya. Nihil.

"PAPA!"

Yudis segera memanggil sang dokter untuk memeriksa kebenarannya. Semua orang kecuali Hana dan Alan, menepi memberi ruang untuk sang dokter.

Namun melihat layar mengukur detak jantung berjalan lurus. Pria berjas putih itu mengegeleng lemah.

"Pasien atas nama Heri Kusuma Yudha, dinyatakan telah meninggal dunia."






































Bersambung.
17 Juni 2023

The Girls Dorm (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang