01. winter fairy

12.2K 727 98
                                    

Peri Musim Dingin,  itulah julukan yang Duke sematkan pada perempuan bermata kebiruan seperti bongkahan es, terlihat beku dan ... kosong. Tidak ada kehidupan yang dapat ditembus, tidak ada emosi yang dapat diintai dalam bola matanya selain hawa dingin. Seakan-akan dialah pemilik musim dingin.

Dia sangat menyukai bulan. Ketika bulan tengah bersinar terang, akan duduk di mana pun yang terpenting dapat menangkap sinar bulan. Tubuh dan rambut peraknya yang ditimpa sinar bulan makin bersinar, membuat gadis itu seperti seorang dewi. Dia seindah itu di mata Correy Lyle, pria yang hampir dua tahun ini seperti hidup tanpa nyawa. Hingga kediaman megah dibalut sentuhan warna gelap itu nampak gamang. Suram, seakan dicat menggunakan air mata kesedihan.

Di tengah tanggung jawab yang harus diemban sebagai penguasa tanah, Lyle nampak sedikit lagi gila. Susah payah menguatkan kewarasan agar dapat berpikir normal. Ia tak tersentuh, seperti angin yang melayang di udara. Terus beduka semenjak perempuan itu tiada. Perempuan yang disimpan baik dalam kediaman sehingga semua orang hanya tahu setelah kematiannya.

Setiap malam akan mengunjungi ruang sihir dan mengobrak-abrik peralatan sihir, meski tanpa bekal ilmu sihir. Satu yang ia harapkan, ingin memutar waktu. Keinginan mustahil yang semua orang pun tahu. Duke itu memang sudah gila, menginginkan kejadian yang tidak ada. Terbukti meski peralatan sihir sudah tersambung-sambung acak seperti mesin buatan, atau hampir ribuan ramuan tergeletak hasil berusaha dengan kepintaran sendiri, semua tidak berfungsi. Dia tidak paham sihir dan tidak pernah belajar sihir, walaupun darah penyihir terakhir mengalir deras di pembuluh.

Keinginan memutar waktu seperti hayalan mimpi, terus menyiksanya dengan kerinduan pada sang istri. Lyle sangat rindu, ingin memeluk dan menatap gadis itu.

Terlalu banyak alkohol sampai tak heran jika pria itu sering meracau-racau, seperti kala ini, gelas alkohol jatuh lagi ke lantai dan menyebabkan suara nyaring yang cukup menyentak pendengar. Akan tetapi, pria itu tak terusik, justru duduk ke sofa shappire dan menatap pada kristal biru yang dipegang dengan mata sudah sayu.

'Aku juga mencintaimu. Sangat.'

Giginya bergemelatuk, rasanya menyebalkan menyesali masa lalu. Masa yang seperti dikubur bersama jasad istrinya. 'Seperti apa aku sebelum mengenal dirimu?'

'Seburuk apa aku?'

Pertanyaan-pertanyaan terus berputar dalam kepala, sampai pintu ruangan temaram beraroma magis itu dibuka, memunculkan seorang lelaki membawa buket mawar. "Tuan, sudah saatnya."

Perkataan itu menuntun Lyle berdiri, langkah sedikit goyah namun secara cepat berusaha ditegaskan. Tanpa banyak bicara mengambil mawar untuk hadiah pada istrinya yang telah mati.

Dinginnya angin musim dingin menyerbu, disertai butiran salju yang menubruk tubuh. Badai ringan seakan menyambut kunjungannya pada makam peri musim dingin itu. Tanpa badai pun, temperature selalu terasa sangat dingin belakangan ini, melebihi tahun-tahun sebelumnya.

Melewati taman timur tempat favorit istrinya bermain dulu, menyebrangi jembatan kecil melengkung di atas sungai buatan, tujuannya adalah rumah kaca yang dihiasi serta ditanami banyak macam mawar. Ketimbang makam, rumah kaca itu lebih menonjolkan getaran taman.

"Sophia, aku datang." Correy Lyle menyapa lembut begitu pintu rumah kaca dibuka. Berjalan beberapa langkah dan menumpu lutut di samping pusara Sophia yang berlapisi marmer. Tidak ada ukiran nama, hanya tulisan tanggal meninggal. 17 Mei, tepat di ulang tahun Correy Lyle.

Mawar itu diletakkan di atasnya, disusul tangan mengusap posisi kepala. Kata-kata Lyle tidak pernah habis, namun yakin Sophia bosan mendengarnya. Terus terbungkam dengan pucuk hidung serta bola mata memerah. Napas terhembus sekaligus dengan gemetar, menggeram sejenak untuk mengontrol diri.

The Cursed Duke's MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang