54. ur blood

507 70 3
                                    


"Ibu, lihatlah! Dia keren." Sophia kecil menarik-narik jubah ibunya, tanpa mengalihkan pandangan dari kerumunan banyak orang.

Namun sang ibu menanggapinya dengan telunjuk yang ditaruh di bibir seraya berbisik, "Shuut." Membuat Sophia menutup rapat bibirnya.

Aella melirik pada apa yang tengah disebut sang putri, pemandangan menonjol seorang pria yang bersujud dengan darah mengalir di pelipis. Ia bersujud di kaki anak kecil. Kemudian Aella menarik tudung Sophia hingga menutupi wajah atasnya. "Kita harus segera pergi."

Sophia yang masih kecil itu hanya ingin melihat lebih dekat seorang tuan kecil yang ada dalam kerumunan orang. Dia melangkah dan melangkah tanpa sadar, mengabaikan ucapan sang ibu yang kala itu masih membeli gula-gula kesukaanya.

Hari itu, Sophia terlepas dari genggaman Aella karena melihat Lyle kecil. Wajah yang dihiasi huruf-huruf bewarna merah itu, menarik perhatian Sophia. Apa yang ia lihat, dan apa yang ibunya lihat, jelas berbeda.

Tubuh kecil tanpa didampingi orang tua itu memasuki kerumunan yang membentuk separuh lingkaran besar. Sampai ia sadar dirinya telah terpisah dari sang ibu.

Sophia dan Aella saling mencari. Beruntung Sophia bertemu dengan seorang teman. Anak kecil yang ramah, mengajaknya berbicara tanpa canggung. Ia membantu Sophia mencari sang ibu.

Aella yang panik mengetahui anaknya tidak juga ketemu, menarik tudung jubah ke belakang agar penglihatannya meluas. Maka saat ia berlari, tudung jubah tersebut secara naluriah terjatuh. Penampakan rambut peraknya saat itu mengundang seseorang untuk membuntutinya.

Meskipun lekas membenarkan tudung, ia terlambat, persembunyiannya telah terendus.

Aella menemukan Sophia di ujung pasar, jauh sekali dari pintu masuk mereka. Saat itu sang putri terlihat sedang dihibur oleh anak laki-laki.

"Anak itu adalah aku." Achille mengaku, menimpali cerita dari Erland. Sedangkan Lyle diam beribu bahasa, ia menegang mengetahui inti masalah hilangnya Sophia adalah dirinya sendiri. "Aku tidak tahu wajah Sophia seperti apa, jadi aku bertanya dia nona dari mana," sambung Achille.

Yang mengalami semua bukan dirinya, tapi Sophia dan Aella, ia hanya mengumpulkan cerita dari mereka. Erland ada dalam posisi yang paling disalahkan, telah membiarkan anak-istrinya pergi tanpa ia dampingi.

Kehadiran Lyle mungkin menjadi awal mula, membuat Sophia tersesat dari genggaman Aella, dan faktor permasalahan jatuh pada pelindung kepala. Semua itu mungkin akan terkendali jika Erland melarang istrinya untuk keluar. Ia terlalu sibuk untuk menemani mereka.

"Lalu? Dia ditemukan oleh budak Atarah? Anak itu masih sangat kecil, usianya hanya lebih tua sedikit dari Sophia. Bagaimana kehidupan istrimu setelah itu?" Alphonsus menimbrung.

"Dia terkadang bilang padaku, ada mata yang mengawasinya dari balik pagar. Sampai ketika, dia menerima surat yang katanya dari bangsawan kenalannya. Tapi," Pria itu berhenti berbicara. Ia cepat-cepat menundukkan kepala seraya menekan kedua pelipis dengan tangan kanan. Seakan jelas membuktikan Erland sedang menyembunyikan tangisan.

Suara isakan kini terdengar. Sophia yang di ujung tergerak mendekati ayahnya yang pasalnya ada di ujung sana. Gadis itu mengusap bahu bergetar sang ayah, membawanya ke dalam pelukan.

Membiarkan keheningan beberapa saat. Memberi kesempatan Ayah untuk mengendalikan emosi. Namun ia tunggu, ayahnya tak juga berhenti.

"Ibu pulang tanpa nyawa," lanjutnya. Perkataanya semakin membuat isakan Erland semakin terdengar. Sophia cukup tegar mengatakan hal itu, cukuplah tangisannya diwakilkan oleh sang ayah.

"Pagi hari Paman membawa Ibu pulang. Paman menemukan jasad Ibu ada di lembah berduri setelah hampir dua hari." Lembah berduri yang di tahun itu masih sekedar sebuah lembah.

****

Lelaki itu, memandangi punggug Sophia yang termenung menatap hujan. Kesunyian masih melanda selepas cerita di saat sore hari.

Ia memberanikan diri menghampiri Sophia. Mengusap sejajar punggung tersebut seolah sedang memanggil tanpa suara. Tidak ada pergerakan sedikit pun, Lyle merekatkan punggung itu padanya.

Bunyi hujan yang berjatuhan, membuat rasa rindu semakin menggebu. Membuat luka semakin terasa pilu. Ia paham akan hati yang seolah diiris karena rasa kerinduan yang menyakitkan.

Menyatukan dagunya pada pundak Sophia, sehingga pipi mereka saling bersentuhan. Sorot gadis itu kosong tak berujung. Menerobos malam yang ditetesi air langit. "Aku juga ingin menangis seperti itu," katanya, kemudian.

Itu membuat dada lelakinya menjadi sesak. Menangis sederas hujan, hal mustahil untuk diwujudkan Sophia.

Lyle meletakan tangannya ke pinggang Sophia, sedikit beralih ke hadapan gadis tersebut. Ia semakin merekat pegangannya di pinggang sang gadis. Sedikit membungkuk seraya membuka bibir, dan lekas menyatukannya pada bibir mungil Sophia.

Menutup mata, ia bergerak lembut seperti menyampaikan sesuatu yang tidak bisa dikatakan lewat kata-kata. Seolah ia hendak merebut rasa sakit yang diderita sang istri. Sebelah tangannya terangkat menahan pipi Sophia, seiring dengan lidah yang bergerak seolah ingin merasakan kepahitan sang istri.

Namun, bukan rasa pahit, justru manisnya apel yang tercicipi. Jantungnya berdebar sangat kencang dan memanas, seolah hendak lepas, tetapi lelaki tersebut menyukai detakan tak terkontrolnya. Dia menemukan dunianya.

Rasa rindu dan sakit hati itu semakin terasa sangat menyakitkan di dada Sophia. Pergerakan Lyle membuat emosinya tersalurkan sehingga beberapa saat kemudian air mata mengalir meski tak sederas hujan. Ia merasakan dukanya.

Gadis itu terisak di sela ciuman, menerima sentuhan sang lelaki yang mengusap lelehan kristalnya. Air mata yang lolos tak terusap, membeku menjadi batu es sebelum mengenai lantai, mereka jatuh seperti pecahan kaca. Tiga jenis bunyi yang tercipta bersatu bersama suara hujan dalam seperkian waktu.

"Terima kasih," ucapnya sangat lirih begitu Lyle sedikit menjauh darinya.

"Kamu hebat!" Ia memberi penguat bahwa Sophia hebat bisa menutupi seakan baik-baik saja. Ia tak heran mendapati air mata yang keluar tiba-tiba ketika membahas Marchioness.

"Yang hebat Ayahku." Gadis tersebut lebih membanggakan ayahnya.

Dengan tangan yang masih merekat di pinggang Sophia, Lyle mengusap habis sisa air mata. Menahan rasa gatal yang tiba-tiba menyerang tenggorokan. Malang, rasa itu tak bisa ia tahan lebih lama. Ia mengeluarkan batuk disertai muntahan darah.

Noda merah tersebut ikut mengotori piyama putih Sophia. Seolah sebuah luka yang didapatkan akibat sayatan. Ia memegang kuat lengan suaminya, mencoba memutuskan sesuatu. Akhirnya, sang gadis berlari keluar meninggalkan suami yang merunduk, menahan batuk dengan tangan dan menumpahkan muntahan ke lantai.

"AYAH!"

Berlari menaiki tangga ke lantai tiga, Sophia meneriakkan ayah kandungnya. Baru sampai memijak pertengahan tangga, kakinya berputar turun. Ayahnya tidak akan bisa membantu Lyle keluar dari rasa sakit. Sophia berlarian di lantai dua, mencari keberadan kamar yang disediakan untuk mertua.

"AYAH!"

Tidak ada bulan yang terbit malam ini. Bulan tertidur dan terkubur oleh hujan. Dirinya tidak bisa menangani akar tersebut.

"AYAH!" serunya lagi.

Jauh sekali, jarak tempat tidur Grand Duke berada di ujung kanan. Sophia memanggil-manggil Alphonsus meskipun masih jauh dari tempat tujuan.

Pintu yang terbentur dengan tembok menyembulkan Grand Duke yang keluar dengan panik. Tidak pernah Sophia berteriak seperti malam ini. Noda merah di kain putih terlihat jelas meski masih jauh di sana, ia pun berjalan cepat untuk mengampiri Sophia.

"Apa Lyle melukaimu?"

Gadis itu menggeleng dan berujar, "Darah!"

"Darah? Dia batuk darah?" Mendapati anggukan cepat, Alphonsus bergegas menuju kamar Sophia. Lyle mungkin tidak akan segera mati, tapi ia yakin itu sangat menyakitkan.

Sesampainya di kamar Sophia, Erland sudah ada di sana seraya menyentuh punggung Lyle.

The Cursed Duke's MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang