17. Goddess of the Night

1.4K 171 3
                                    

"Sehari lagi, kumohon."

Pemilik wajah yang masih bersembunyi dalam pelukan Sophia itu menolak kembali hari ini. Padahal, ia janji pada Erland sebatas menginap satu malam saja. Sepertinya aktivitas semalam membuatnya lelah.

"Sebentar lagi waktu sarapan, harus bangun," perintah Sophia yang ditolak Lyle lagi, makin memeluk tubuh istrinya tanpa niat bangkit sama sekali. Tanpa butuh waktu lama, lelaki itu tidur lagi.

Sophia membuang napas pelan, lalu bangkit sendiri dari ranjang. Mandi sejenak dibantu pelayan, seusai berganti pakaian, Lyle masih lelap di peraduan. "Apa yang kamu lakukan semalam?"

"Lyle, bangun," titah Sophia seraya mendekat. Ia menyentuh tangan Lyle, dan secepatnya ditarik kembali. Panas, kulit suaminya sekarang panas! Padahal saat dalam pelukan masih hangat.

Meski ... dia begetar ketika semakin merekatkan pelukan. Ya ampun! Lelaki itu demam!

Gadis itu menarik tali menggantung di sisi nakas guna membunyikan lonceng di bawah, memanggil pelayan. Sejenak kemudian, pelayan tiba dan ia lekas menitahkan untuk membawa dua handuk kecil serta air hangat.

Selepas pelayan itu keluar, Sophia ikut keluar.

"Pelayan," panggilnya pada pelayan wanita yang berlalu membawa lap.

Dia mendekat dan menyahut, "Ya, Nyonya Muda."

'Melewati merpati, kan? Atau titipkan saja pada mereka? Bila seperti itu, secara lisan pun bisa!' Sophia memikirkan cara mengirim surat. Duh, dirinya masih bodoh akan dunia. Untungnya pelayan secara sabar menunggu seraya menikmati pemandangan langka dari kecantikan Sophia yang ethereal.

Sepertinya sebutan Lyle tentang jelmaan dewi bulan tidak berlebihan untuknya.

Gadis itu menggeleng, lalu bertanya, "Cara mengirim surat, bagaimana?"

Spontan saja si Pelayan berubah ekspresi menjadi pongah. 'Tidak tahu cara mengirim surat?' pikirnya, 'Bangsawan yang ajaib.'

'Di mana Grand Duke mendapatkan memantu seperti ini? Dari langit kah?'

"Menulis pada kertas, Nyonya Muda," jawab dia, suaranya berasa mengambang di air.

"Aku juga beberapakali melihat kertas di meja Ayah, katanya itu surat. Jadi aku tahu kalau surat ditulis di atas kertas, tapi bagaimana cara mengirimnya? Diterbangkan lewat udara?" Gadis itu kembali bertanya dengan wajah tanpa emosi. Beku, tidak ada sorot polos ataupun angkuh.

Si Pelayan nampak terhenyak, lekas-lekas Sophia memperbaiki ucapannya. "Merpati, merpati kan sejenis burung. Tidak, aku butuh segera! Cepat tuntun aku membuat surat untuk Ayah!"

"Anda silahkan kembali, saya akan membawakan kertas serta pena," pinta sang pelayan ramah.

*****

"AKHHH, SIALAN! BERENGSEK!"

Sepasang tangan membanting meja sekuat tenaga disertai makian yang terus menggelegar. Ruangan gelap ini makin nampak hancur dan mencekam. Botol-botol pecah membuat cairan tumpah ruah. Berbagai macam warna, dari hijau muda, hijau tua, hitam, merah, ungu, dan sebagainya. Seakan-akan ruangan ini tengah mengadakan pesta kekacauan.

"Siapa yang menghancurkan urusanku ini!" jeritnya, sampai urat leher tercetak jelas. Meski dia perempuan, kemurkaan itu nampak menyeramkan sampai-sampai mampu membuat pria bertekuk lutut ketakutan di belakangnya.

Tubuh pria itu bergetar, seperti akan ditelan kematian. Dia terus meminta maaf dengan gemetaran. "Maaf, maafkan hamba."

Seolah tuli, perempuan itu justru memukul kaca tebal di ruang tersebut. Kemudian beralih menggigit ibu jarinya dengan cemas hingga tanpa terasa menyebabkan darah segar mengalir.

The Cursed Duke's MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang