Di hadapan laut

76 49 4
                                    

"Kamu terlalu indah untuk aku yang kelam bagaikan gelapnya malam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kamu terlalu indah untuk aku yang kelam bagaikan gelapnya malam."
-Sagara Dirga Dewantara.

Gar, aku...”

Suara deburan ombak membuat suasana sedikit tegang, Sagara terus menatap Arunika untuk menjawab perkataannya tadi. Jantung Sagara tak karuan, ia sedikit tegang dengan jawaban Arunika. Sagara tahu mungkin ini terlalu cepat baginya, namun bolehkan Sagara lebih mengenal perempuan di sampingnya ini. Sagara menatap Arunika dengan sorot mata berharap. Sagara menghela napas berat saat Arunika tak kunjung menjawabnya, seharusnya ia tidak berbicara seperti itu pada Arunika.

Sagara menatap Arunika, “Arun, maaf...” lirihnya sambil menunduk.

“Maaf udah lancang. Seharusnya aku gak bilang itu.”

“Maaf aku terlalu berharap Run.”

Arunika menatap Sagara, “Iya Gar. Aku mau.” Vanilla menggenggam tangan Sagara lalu tersenyum manis padanya.

Sagara mengangkat kepalanya yang sedari tadi menunduk. Jawaban Arunika benar-benar membuatnya tak menyangka. Benarkah ini?

“Run? Beneran?” tanya Sagara sambil menatap Arunika tak menyangka.

“Iya Gar. Aku mau,” balas Arunika seraya tersenyum menatap seseorang di depannya.

Seukir tenyum tipis terlihat di bibir Sagara. Bahagia, tak menyangka itulah perasaan Sagara sekarang. Sagara bahagia, bahagia bisa bersama Arunika.

“Makasih Arun,” tuturnya.

Arunika tersenyum. Cairan merah mengalir dari hidung Sagara. Sagara yang menyadarinya langsung mengusapnya, kepalanya terasa pusing.

Arunika menatap Sagara, “Gar, kamu gapapa?” tanya Arunika khawatir, ia sedikit mendekatkan posisinya dengan Sagara.

“Gapapa kok Arun,” balas Sagara dengan seulas senyum tipis agar perempuannya tak khawatir.

“Beneran Gapapa Gar? Itu kamu mimisan loh.”

“Pake ini. Biar darahnya gak keluar terus,” Arunika memberikan kain lembut berukuran kecil kepada Sagara.

“Makasih Run,” Sagara mengusap darah dari hidungnya, ia sedikit mengangkat kepalanya agar terhenti.

Sagara sedikit heran dengan keadaanya. Sudah sering ia seperti ini, Sagara hanya menganggap semua itu karena kecapean. Sagara tidak terlalu memikirkan semua itu.

Luka Kita Kala Itu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang