Berbohong lagi...

59 33 14
                                    

"Apa senja harus mengalah demi malam?"-Seira

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Apa senja harus mengalah demi malam?"
-Seira.

Cahaya pagi menerobos masuk ke jendela kamar Vanilla. Vanilla membuka matanya perlahan saat cahaya itu menerangi wajahnya. Vanilla menatap langit-langit kamarnya. Vanilla beranjak dari tidurnya, ia menghela napas panjang.

Vanilla berjalan ke kamar mandi untuk bersiap-siap sekolah seperti biasanya. Vanilla berdiri  di depan cermin, ia menatap pantulan dirinya sendiri. Vanilal menghela napas pelan, ia berusaha melupakan kejadian semalam yang terus teringat di benaknya. Vanilla sudah menggunakan seragam sekolahnya di tambah dengan tas di pundaknya.

Vanilal menghela napas perlahan, sebelum melangkah pergi keluar kamarnya. Vanilla berjalan menuruni anak tangga, ia akan menghampiri Andra yang sudah di depan rumahnya. Sebenarnya Vanilla sudah menghubungi Sagara beberapa kali, tapi nomos Sagara tak dapat di hubungi.

Sorot mata Vanilla tertuju pada keluarganya itu. Vanilla menghampiri mereka hanya untuk sekedar berpamitan saja.

“Aletta berangkat Yah,” kata Vanilla sambil mencium punggung tangan ayahnya.

“Gak makan dulu?” tanya Ayahnya.

“Gak Yah. Aletta berangkat.” Vanilla melangkah keluar rumah dan meninggalkan keluarganya yang sedang sarapan.

Vanilla membuka pintu gerbang rumahnya, yang pertama kali ia lihat adalah seorang laki-laki yang sedang menyandar ke motornya dengan santai.

Vanilka menghela napas pelan, “Maaf, nunggu lama,” kata Vanilla.

“Santai aja Letta,” balas Andra.

“Sagara kenapa gak aktif Dra?” tanya Vanilla.

“Gue juga gak tau,” balas Vanilla.

“Tuh anak emang suka ngilang-ngilang,” ujar Andra.

“Coba lo telpon dia,” lanjut andra.

Vanilla mengambil ponselnya, lalu menekan nomor Vanilla yang tertera di layar hpnya.

Sagara masih menatap tembok berwarna putih. Kenyataan malam itu membuatnya kaget tak menyangka. Ia terus melamun memikirkan kenyataan pahit itu. Wajah Sagara terlihat pucat, matanya terlihar sayu, bibirnya pucat pasi, selang infus masih melekat di tangannya. Sagara melirik temannya yang tertidur lelap di sofa ujung sana.

Ponsel Sagara tiba-tiba berdering, Sagara melirik ponselnya yang berada di laci sebelah brankarnya. Sagara mengambil ponsel itu, lalu menjawab telponnya.

Luka Kita Kala Itu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang