Harapan dan kenyataan

64 8 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sagara yang masih terduduk di kursi sambil menatap pulpen yang ia pegang. Beberapa kata sudah Sagara rangkai di dalam buku diarynya. Sagara melirik tiga buah surat yang tergeletak di meja belajarnya. Ia tersenyum getir saat melirik surat yang baru saja ia buat. Semua ini pahit baginya. Ketika ia menahan rasa sakit di depan semua orang dan harus berpura-pura biasa saja. Hampir setiap hari ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya, setiap hari Sagara merasakan tulang sendinya nyeri.

Rasa rindu kepada orang tuanya semakin besar. Ketika ia melihat penderita kanker sepertinya di temani oleh orang tuanya. Sedangkan Sagara? Ia berjuang melawan kanker yang di deritanya sendiri. Tidak ada kata penyemangat dari orang tuanya. Sosok Ayah bagi Sagara hanyalah bayangan yang tak mungkin nyata. Sudah beberapa tahun Ayah kandungnya tidak memberi kabar padanya. Sagara tidak tahu keadaan Ayahnya seperti apa? Ayahnya dimana? Apakahh Ayahnya mengingatnya? Sagara tidak tahu semua, bahkan Sagara seperti tak punya Ayah.

“Ayah Gara rindu..”

“Ayah dimana?”

“Ayah tidak rindu Sagara?”

Sagara menatap buku diarynya dengan tatapan sendu. Sagara berusaha mengatur napasnya yang terasa sesak. Sagara meringis saat kepalanya terasa pusing, pandangannya mulai kabur. Sagara berjalan dengan gontai ke tempat tasnya berada. Ia berusaha mengambil obat pereda sakitnya. Pandangannya mulai memudar, rasa sakit semakin ia rasakan. Sagara terjatuh, ia terkapar di lantai dengan wajah yang pucat pasi. Sagara berusaha membuka matanya, ia melirik tasnya. Berharap ada yang memberikan obat untuknya.

“Sakit...” Pandangan Sagara mulai kabur.

“Ayah..Sakit...” Mata Sagara mulai tertutup, Sagara tak sadarkan diri. Sagaara tidak bisa menahan rasa sakit yang di alaminya.

Di tempat lain, segelas teh hangat menemani Vanilla yang terduduk di sofa ruang tamu. Sorto matanya tak lepas dari televisi di deoann. Vanilla sedikit merasa bosa berada di rumah, sekaligus ia takut jika berada di rumah sendirian. Kejadian kemarin membuat Vanilla tak tenang, membuatnya ingat pada kejadian beberapa tahun yang lalu. Semua orang yang berada di rumahnya tak tahu pergi kemana. Vanilla sudah biasa di tinggal sendirian, bahkan ia selalu sendirian.

Pintu rumah Vanilla terbuka menampilkan sebuah keluarga yang sangat bahagia. Vanilla menatap Ayahnya dengan tatapan malas. Mereka berjalan menghampiri Vanilla, raut wajah mereka sangat bahagia. Tidak seperti dirinya yang sendirian meratapi nasibnya. Vanilla beranjak dari duduknya.

“Yah. Letta mau minta sesuatu,” ujar Vanilla sambil menatap Ayahnya.

“Apa?” jawab Ayahnya.

Luka Kita Kala Itu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang