Part 40

4.6K 532 90
                                    

2 tahun kemudian.

ARABELLA POV

Menjadi seorang anggota intelegen negara tidaklah semudah penegak hukum yang lain. Hukuman militer biasanya hanya hitungan hari.

Namun, untuk seorang anggota intelegen butuh waktu tahunan. Itu karena negara harus memutus segala informasi dan koneksi intelegen yang telah Aku miliki.

Dua tahun berlalu, hukumanku bisa saja lebih singkat dari ini jika Aku membiarkan Mr. Paul dan kolegaku yang lain ikut menanggungnya.

Tapi untuk apa membuat orang lain susah hanya karena urusan pribadiku, benarkan?

Kadang Aku ingin menertawakan diriku sendiri. Membuat kekacauan dalam hidupku sendiri hanya untuk seorang wanita. Melepaskan pekerjaan dan jabatan yang Aku perjuangkan hanya karena satu perasaan yang di sebut cinta.

Cinta itu Buta.

Kalimat itu benar, tapi kurang tepat untukku.

Bukan hanya buta, cintaku tuli dan membuatku tidak mendengarkan nasehat orang disekitarku. Cintaku bisu, hingga Aku tidak berani berkata lantang tentang betapa sakitnya Aku. Cintaku bodoh, seperti yang Aku lakukan sekarang.

Dua tahun bukan waktu yang panjang, tapi cukup untuk Aku berdamai dengan perasaanku.

Hari ini, Akhirnya Aku bebas dan kembali suci. Rasanya seperti terlahir kembali. Aku benar benar tidak tau informasi apapun selama di dalam penjara. Jangankan informasi tentang Rubi, orang tuaku saja Aku tidak tau bagaimana keadaan mereka.

Hanya satu hal yang Aku tau, Mereka masih hidup. Karena jika tidak petugas penjara akan memberitahuku.

Winson juga tidak pernah lagi muncul sejak kunjungannya yang pertama.  Aku mengerti bahwa itu adalah kode etik anggota intelegen, jadi Aku tidak marah sedikitpun padanya. Aku hanya sedikit merasa kehilangan seorang teman.

Saat ini, Aku hanya ingin segera pulang, berendam air hangat, tidur di kasur yang lembut dan menikmati dinginnya AC.

Aku memutuskan untuk pulang ke apartemen lebih dulu. Lagi pula orang tuaku tidak tau kalau Aku bebas hari ini.

Bukan karena Aku tidak ingin memberi tau orang tuaku atas kebebasanku. Hanya saja Aku tidak punya ponsel untuk menghubungi mereka dan juga selama ini mereka tidak boleh mengunjungiku di penjara.

.

.

.

"Semuanya masih sama."

Apartemenku masih sama seperti ketika Aku meninggalkannya. Hanya ada sedikit debu, mungkin Mama menyuruh seseorang membersihkannya secara berkala.

Mungkinkah?

Ah, tidak mungkin. Aku mengelak tapi langkah kakiku masih berjalan ke arah ruang wardrobe untuk menjawab rasa penasaranku.

Haha, Bella bodoh. Mana mungkin Dia masih disini.

Baju baju Rubian tidak ada diruangan ini. Hanya ada beberapa. Mungkin tertinggal karena kopernya tidak muat.

Aku masih saja penasaran. Aku membuka satu lemari. Aku menghitung jumlah sex toys untuk memastikan tidak ada yang hilang.

"Setidaknya Dia meninggalkannya, dan tidak memakainya dengan wanita lain."

Aku beralih ke ruangan selanjutnya. Ruang kerjaku yang selalu terkunci karena Aku menyimpan senjata dan foto Rubian.

Tentu saja semua senjataku sudah tidak ada, karena semenjak dipecat Aku harus mengembalikan semua senjata dan Aku memberikan senjata api koleksi pribadiku pada Winson sebagai kenang kenangan. Lagi pula, Aku sudah tidak punya ijin untuk memiliki senjata api.

Foto Rubi tidak lagi menggantung di dinding. Mungkin Rubian menurunkannya, karena foto itu bersandar di dinding dengan di tutupi oleh kain hitam.

Aku membuka kain itu untuk melihat sesaat, lalu Aku kembali menutupnya sambil mengumpat.

"Bodoh."

Aku tidak ingin usahaku untuk move on selama dua tahun terakhir sia sia. Aku akan membakar foto itu besok.

Akhirnya Aku memutuskan untuk mandi dan berendam sebelum tidur. Aku lelah.

.

.

.

Sehari berlalu begitu cepat karena tidurku yang nyenyak. Setelah beberapa kali terbangun dan kembali tidur, Aku memutuskan untuk mandi. Aku harus pulang ke rumah untuk menemui orang tuaku.

Aku menatap tubuhku di depan cermin. Aku hanya tinggal kulit dan tulang, tidak ada lagi otot yang dulu ku banggakan. Itu karena Aku jarang makan dan tidak pernah berolahraga selama di penjara. Aku pikir, untuk apa memelihara otot? Aku sekarang adalah warga biasa. Aku tidak lagi butuh kekuatan.

Aku akhirnya hanya menggunakan sweater putih dan celana panjang berwarna hijau dengan banyak kantong. Untuk menutupi tubuhku yang mengenaskan. Aku ingin berpenampilan rapi, tapi apa daya setelan jas yang dulu sering Aku pakai sudah kebesaran. Aku tidak ingin orang tuaku sedih saat melihatku,

Aku membiarkan rambut pendekku terurai agar bisa menutupi tulang pipiku yang kurus meski sebenarnya masih terlihat. Yah.. Setidaknya menyamarkan.

Aku memilih untuk menaiki taksi karena terakhir kali Aku meninggalkan mobilku di rumah. Aku takut mobilku tidak terawat jika Aku meninggalkannya di basement Apartemen, Jadi Aku meninggalkannya disana.

Aku menyebutkan alamat rumahku pada supir taksi dan kemudian diam untuk menikmati pemandangan kemacetan yang sudah lama tidak ku lihat.

"Masuk aja pak."

Aku menyuruh supir taksi itu untuk memasukkan mobilnya ke halaman rumah keluargaku.

"Tunggu sebentar ya pak."

Supir taksi itu mengiyakan dengan ramah. Aku masuk kedalam rumah sambil berteriak.

"Maaaa.. Paaaa.."

"Reset." Gumamku lirih. Rasanya usahaku untuk move on dua tahun terakhir seperti sia sia saat melihat Rubian secara langsung.

Mengapa Dia disini?

Apa Dia tau Aku sudah keluar dari penjara?

Apa Dia datang untuk mengucapkan terimakasih?

Atau jangan jangan Dia menungguku selama ini?

Tidak tidak. Itu tidak mungkin.

Dia mungkin datang untuk memberiku undangan pernikahannya.

Aku terus memikirkan kemungkinan terburuk untuk membuat otakku tidak berharap terlalu banyak. Dengan langkah lebar Dia mendekat padaku dan..

Plakkk

"Auh.." Dia menamparku cukup keras.

Rubi menatapku dengan mata yang berkaca kaca, dan Aku hanya bisa tersenyum. Kami berdua diam cukup lama tanpa ada satupun yang mulai bicara.

"Bisa pinjam uang untuk bayar taksiku di luar?" Ucapku akhirnya.

Aku tau, Aku bodoh. Tapi, Aku khawatir supir taksi itu menunggu terlalu lama, jika Aku harus menanyakan alasan Rubi menamparku lebih dulu.

Rubian menatapku penuh amarah, tapi kemudian berjalan kembali ke sofa untuk mengambil tasnya dan berlajan melewatiku tanpa memberiku uang.

Supir taksinya gimana?

Aku sangat bingung. Apalagi Papa dan Mama tidak ada dirumah. Gimana Aku bayar taksinya. Masa harus pinjam tetangga?

"Rubian." Perasaan ini ternyata masih sama. Jantungku masih berdetak kencang saat Aku menyuarakan namanya.

Dia berhenti. Aku ragu untuk kembali meminta uang darinya, tapi setelah apa yang Aku korbankan untuknya, bukankah Dia harusnya membayarku. Sedikit?

"Pinjam uangnya."

"Aku akan membayarnya. Kamu temui Papa dan Mama dulu. Mereka di taman belakang."

"Makasih." Ucapku dengan canggung.





















~~~~~~~~~~{{{$

Dah ah, mau ngilang lagi. Bye bye..

LIFE PARTNERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang