"Sudah makan?"
Suara pria itu menarik kesadaranku dari lamunan yang tak begitu penting. Aku mengerjapkan mata lalu membuang pandang ke televisi yang sengaja aku nyalakan untuk menemaniku saat berada di ruang tamu malam ini. Tumben, dia pulang cepat, biasanya jam segini dia belum pulang. Kata Bik Ima dia sering lembur. Kulirik sekilas ponselku, angka baru jam delapan.
"Sudah."
Aku menegakkan posisi duduk sebab tidak nyaman tiduran di sofa kalau ada dia. Jariku refleks menggeser layar ponsel yang ada di genggaman, entah apa yang aku lihat di situ. Intinya, aku hanya mengalihkan perhatian saja.
Dia yang berstatus suamiku menghempas bobotnya di sofa empuk yang tidak jauh dari tempat aku duduk. Lalu, jari kokohnya menekan tombol remote, mengganti siaran TV sinetron menjadi siaran berita. Sepertinya Mas Romi pun tak menanggapi jawaban dariku. Sekilas aku melirik dengan ekor mata, tampak matanya fokus ke acara berita khas bapak-bapak itu. Sudah kubilang, tidak ada pembicaraan yang bisa dibahas. Kita jauh berbeda dari segi umur dan pola pikir.
Merasa bosan, aku pun beranjak menuju ke kamar dan meninggalkan si suami sendirian di ruang itu. Lelaki umur 30 tahun itu tidak menghiraukan saat aku menaiki anak tangga.
Cuek, iya, aku bahkan tidak peduli dengan apa yang dia kerjakan selama ini. Aku berharap dia pun tidak usah mencampuri urusan pribadi.
Kita hidup dengan kesibukan masing-masing. Aku fokus dengan kuliahku yang sekarang masuk semester 6 dan dia sibuk dengan kerjaan yang selalu menumpuk di kantor. Bahkan kata Bik Ima, dia lebih sering lembur sebab selalu ada rapat dadakan atau ketemu kolega di luar kantor. Aku sama sekali tidak berminat mengetahuinya.
Sesampai ke kamar, aku langsung merebahkan tubuh yang cuma 160 cm ke ranjang dan memeluk bantal pink berbentuk hati. Pandangan langsung tertuju ke langit-langit kamar yang dipenuhi dengan stiker resin berbentuk bintang. Aku akan melihat sinar hijau di bintang itu kala lampu kamar dimatikan. Yang membuat aku seakan-akan berada di bawah tepat bintang itu berada. Indah sekali. Kejadian tahun lalu pun terngiang di benakku.
"Ini bukan zaman Siti Nurbaya, kenapa harus ada perjodohan ini, Pa?" protesku dengan lantang. Aku tidak mau pernikahan itu.
"Papa tidak peduli ini zaman Siti Nurbaya atau bukan. Kita keluarga besar hanya menjalankan amanah yang sudah kita janjikan sejak kalian kecil," jelas lelaki yang sudah membesarkanku sejak 20 tahun lalu.
"Tapi bisa, 'kan tunggu sampai aku siap dinikahi, setidaknya tunggu aku selesaikan kuliah sampe sarjana," alasanku lagi sambil menahan air mata yang sudah tertumpuk di pelupuk mata.
Aku tidak mau cita-citaku menjadi dokter, terhalang gara-gara harus menikah dini. Aku merasa umur 20 tahun masih terlalu muda untuk menikah.
"Tidak bisa, keluarga Pak Latif tidak bisa menunggu lagi. Lagipula keluarga sudah menyetujui surat kontrak. Sebelum surat itu ditandatangan, kalian udah harus punya hubungan suami istri. Karena papa ...," tegas Pak Faris setyawan yang merupakan ayah kandungku dan juga seorang pengusaha properti.
"Papa egois!" Aku langsung memotong pembicaraannya dengan nada meninggi.
"Mengorbankan putrinya sendiri demi usaha papa sendiri," ucapku marah, tak terkendalikan lagi sembari menetaskan air mata yang sudah penuh dan akhirnya terjatuh begitu saja tanpa bisa ditahan.
"Kamu ...."
Bersambung
Cerbung ini sudah tamat di KBM App (herlina_teddy) dan Karyakarsa (herlinateddy) dengan judul MENIKAH DENGAN PRI DEWASAAda paket hemat dan murah Fullpart di Karyakarsa.