Bab 4A

433 3 0
                                    

"Duduk, aku mau bicara sebentar," lanjutnya, berdiri dengan kedua tangan dilipat di depan dada.

Aku sudah tahu apa yang akan dibahas, memberi petuah malam yang tidak penting dan sangat membosankan, tentunya. Dia selalu begitu. Jika menurutnya tidak cocok dari segi pandangannya, maka dia akan membuat peraturan baru yang harus aku patuhi. Otoriter banget, sih.

"Aku capek, aku mau istirahat," balasku alasan menghindarinya sambil berjalan menuju ke anak tangga.

"Berhenti!" titahnya lantang, berlari  menghampiri dan menahan langkahku. Posisinya sekarang ada di hadapanku, hanya  ada beberapa jengkal jarak di antara kami.

Aku bisa merasakan deru napas terengah-engah saat jarak kita seperti ini. Tatapan itu sedikit tajam, apakah dia marah karena aku mengacuhkan perintahnya? Aku mengalihkan pandangan ke samping, tak mau mempertahankan kontak mata itu.

"Duduk dan dengarkan aku dulu, setelah itu terserah kamu mau apa." Suaranya pelan tetapi tegas. Suara itu, entah mengapa membuatku sedikit takut, gugup dan akhirnya memilih untuk patuh. 

Aku kembali mengayunkan kaki menuju ke sofa dengan langkah malas dan menghempaskan p*ntatku ke sofa yang empuk, memeluk bantal sofa.

Dia mengikuti langkahku dan mengambil duduk tepat di depanku. Aku tahu alasannya agar bisa melihat langsung ekspresi wajahku saat dia memberi kuliah tambahannya malam itu.

"Kamu itu tuan rumah tadi. Seharusnya kamu tahu waktu dan keadaan." Dia mulai memberi ceramah malam, membuat telingaku memanas seperti letupan larva. Hatiku jengkel. Sikapnya yang terlalu ke-bapak-bapak-an seolah hanya dia yang patut didengarkan.

"Bagaimana perasaan orangtua mereka yang cemas menunggu putrinya belum sampe ke rumah? Coba kamu bayangin aja, bagaimana kalo itu terjadi pada mama? Mama pasti akan khawatir, jika jam segini, gadis kesayangannya belum sampai di rumah. Mereka pasti akan mikir apakah terjadi sesuatu di jalan. Bagaimana keadaannya ...." Panjang sekali ocehannya itu, makin membuatku ingin merobek bibirnya.

"Udah?" potongku dengan pandangan kesal dan tidak membiarkan dia menyelesaikan celoteh yang terlalu posesif, menurutku.

Dia pun terdiam dengan tatapan sedikit sentimen. Mungkin menurutnya, aku tidak sopan memotong pembicaraan atau mungkin tidak suka dengan sikap pembangkangku. Aku tidak pernah bersikap manis atau manja di depannya.

Bagiku, dia hanyalah orang asing yang secara kebetulan dijodohkan dan menikah denganku. Kendatipun dia adalah suami sah di mata agama dan hukum, bagiku dia tetap orang lain yang tidak berhak untuk mencampuri setiap urusan dan gerak-gerikku. Lama-lama aku bisa gil@ kalau harus hidup diatur makhluk yang namanya Romi ini.

"Coba kamu renungkan saja apa yang kamu dan temanmu lakukan untuk malam ini," tegasnya lagi tanpa mempedulikan sikap cuek yang aku hadiahkan untuknya. Aku hanya menoleh sesekali ke arahnya sambil memainkan ponsel.

"Gina, aku lagi bicara dengan kamu, bisakah kamu menyimpan ponsel itu dulu?"

Pria berkacamata itu menatapku sengit, bisa kubaca aura yang tak mengenakan di mata tajamnya. Melihat itu membuat sekujur tubuh merinding. Aku pun menutup layar  dan menggenggam ponsel dengan erat. Geram rasanya harus berada di situasi seperti ini.

Aku berdeham beberapa kali sebelum mengutarakan isi yang ada di kepalaku.

"Menurutku tidak ada yang salah dengan malam ini. Lagipula mereka sudah pamit sama nyokapnya dan mereka tahu anaknya ada di rumah Gina. Jadi aman terkendali. Terus, apa yang harus dikhawatirkan?" sindirku sambil menyatukan ibu jari dan jari telunjuk membentuk huruf O.

"Tidak usah pikir terlalu jauh gimana-gimana. Lagipula ini weekend, besok sabtu tidak ada kuliah. Kita udah dewasa, Mas. Bukan anak SMA lagi yang butuh dicemaskan." 

MENIKAH DENGAN PRIA DEWASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang