Bab 5A

391 2 0
                                    

Flash back

"Boleh aku duduk di sini ?" Mas Romi meminta izin sebelum mengambil posisi duduk di sisiku seraya menyodorkan jus jeruk.

Aku mengangguk memberi izin dan mengambil jus jeruk yang ditawarkan. Lalu, kuletakkan jus berwarna jingga itu di atas meja. Aku tidak haus, aku hanya butuh ketenangan saat ini.

Malam pertunangan, semua orang seharusnya  merasakan kebahagiaan, tetapi tidak dengan hatiku. Acara itu terkesan mendadak sekali. Bahkan, keinginan menikah karena perjodohan kedua keluarga besar  yang sudah direncanakan tanpa sepegetahuanku. Kata mama, masalah ini sudah dipikirkan sejak aku masih di bangku SMA. Mereka sengaja tidak memberitahu karena khawatir akan mengganggu kelulusanku. Lagipula waktu itu, calon suamiku tengah menyelesaikan tesis S2-nya di negara Paman Sam.

"Kuliah semester berapa sekarang?"

Aku tersadar dari lamunan saat dia melontarkan pertanyaan basa basi itu. Sebenarnya aku yakin dia sudah mengetahui banyak hal tentangku. Pertanyaan itu hanyalah alasannya untuk bisa mengajak aku berbincang.

"Semester empat." 

Aku menjawab singkat tanpa menoleh sedikitpun ke arahnya. Aku muak, benci dan kesal dengan pria itu. Mengapa tidak ada penolakan darinya? Kenapa sepertinya, hanya aku saja yang menangkis perjodohan Siti Nurbaya ini?

Bukannya aku dengar dari Kak Harris , dia mahasiswa lulusan luar negri dengan IP tertinggi di kampus? Orang berpendidikan tetapi mengapa pemikiran dan pandangannya masih kedaluwarsa, mau saja dijodohi dengan gadis yang belum dikenal sama sekali untuk dijadikan istri. Pernah terbesit di pikiranku tentang dirinya, jangan-jangan dia tidak tahu bagaimana cara berhubungan dengan lawan jenis.

"Jurusan?" Dia masih terus menimpali pertanyaan yang membuatku malas menjawabnya. Untung saja, dia bertanya dengan sopan dan nada lembut atau bisa saja, dia sedang ingin mengambil hatiku, entahlah.

"Kedokteran," jawabku kembali singkat, hanya menatap ke arah minuman dingin yang belum aku cicipi sedikitpun.

Lagi pula aku cukup yakin meskipun aku tidak menjawab pertanyaan itu, dia sudah tahu jurusan yang aku ambil. Pintar sekali dia mencairkan suasana tetapi sayang, saat ini aku sama sekali tidak minat mengobrol dengan siapapun, terutama dia.

"Sepertinya kamu keberatan dengan perjodohan ini?"

Pertanyaan ini membuatku sedikit kaget. Spontan aku meliriknya dengan ekor mata lalu berpaling cepat ketika aku mengetahui ternyata mata itu tengah mengawasaiku. Mungkin dia membaca cara jawabku yang singkat dan acuh. Atau mungkin dia bisa membaca apa isi hatiku. Hebat sekali dia.

"Hm." 

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Walaupun berkata jujur, itu tidak bakal membatalkan pernikahan yang akan dilangsungkan satu bulan lagi sesuai hasil rundingan kedua keluarga besar tadi.

"Aku hanya belum siap saja. Kamu tahu aku masih berusia sembilan belas tahun, masih terlalu muda untuk menikah. Sementara teman-temanku masih bisa menikmati masa muda dengan kebebasan, sedangkan aku sudah harus menyandang status istri. Belum lagi ...."

Aku memotong kalimatku, serasa ada kerikil yang mengganggu tenggorokan. Apa aku harus jujur kalau aku kecewa jika dengan terpaksa aku harus berhenti kuliah setelah pernikahan nanti?

"Belum lagi?" Pria yang sedari tadi duduk di samping dan memperhatikan setiap gerakku, mengulangi kalimat dan sepertinya dia sedang menunggu kelanjutannya.

Aku tak berani menatap pria asing itu yang mungkin sedang menatap lekat ke arahku. Kupalingkan wajah ke arah keberadaan kedua orangtua kita yang sedang tertawa bahagia di meja panjang itu. Mereka bahagia di atas penderitaanku.

"Kuliahku." Aku menjawab seadanya, tak mampu berkata-kata lagi.

"Iya, kenapa dengan kuliahmu?"

MENIKAH DENGAN PRIA DEWASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang