"Enggak pa-pa, Kak. Gina bareng aku aja. Enggak enak sama ortunya, tadi perginya bareng aku, pulangnya sama siapa." Nella memang pintar berdusta untuk meyakinkan lawan bicaranya.
"Kalau gitu, aku tidak maksa lagi. Entar kapan-kapan baru aku main ke rumahmu, ya."
Ada raut kekecewaan di wajah oval itu. Maaf, Kak, aku tidak mungkin mengajak kamu mampir ke rumah suamiku. Bisa-bisa, Mas Romi menebas leherku karena melarang salah satu peraturannya.
"Kak, kita duluan, ya." Aku mendengar samar-samar Linda berpamitan kala kita sudah melangkah jauh dan keluar dari kafe.
Sepanjang jalan, aku cemas dan gugup. Aku menyesal karena begitu ceroboh sampai tidak ingat waktu. Namun, kedua sobatku tidak berhenti menenangkanku.
"Tidak pa-pa, Gin. Entar kamu jelasin kalau jalanan macet makanya sampai di rumah. Lagi pula ini, kan, weekend, dia pasti maklum," kata Linda dengan polos.
Ah, dia belum tahu Mas Romi. Pria itu tegas, pantang baginya untuk melanggar salah satu peraturan yang sudah dibuat untukku. Telat pulang bukan satu dua kalinya aku lakukan. Namun, apa? Dia akan memberi ceramah panjang lebar sebelum mengizinkan aku masuk ke kamar.
"Enggak mempan alasan itu, ini bukan pertama kalinya aku melanggar peraturannya, telat gara - gara macet itu udah menjadi alasan basi. Bakal disemprot lagi aku malam ini."
Nella hanya diam karena matanya fokus menyetir mobil. Aku tahu dia sudah berusaha mempercepat laju mobil, tetapi jalanan memang sedang ramai sekali. Banyak mobil yang melintas.
Suasana di mobil sedikit tegang saat Nella menginjak pedal gas dan pedal rem secara bergantian. Tujuannya agar aku cepat sampai di rumah, tetapi menurutku itu tidak nyaman.
"Nel, aku belum mau m@ti, please nyetirnya slow aja," kata Linda yang duduk di jok belakang, memohon. Kulihat sekilas, wajahnya pucat, mungkin karena ketakutan.
Malam ini, Nella menyetir mobil seolah sedang bermain balapan di arena permainan. Tidak mempedulikan kondisi jantung kita yang sudah hampir terlepas dari rongganya.
"Iya, Nel. Santai aja. Enggak pa-pa kalau telat, paling diomelin bentar doang."
Sebenarnya aku pun takut dengan cara mengemudi Nella malam ini. Seolah-olah sedang mengajak kita untuk olahraga jantung.
"Kalau aku slow, yang iya-nya kamu makin telat. Tuh, liat udah jam sebelas. Enggak terasa, kan? Udah satu jam kita di mobil, tunggu antrean macet begini. Emang kamu mau kita sampai di rumah jam 12 apa jam satu dini hari. Aku kasihan sama lo, Gin."
"Enggak, Nel. Daripada-daripada, kan. Lo apa enggak kasihan sama nyokap aku, gadisnya m@ti sia-sia, dia nggak bisa nimang cucu. Lo tahu, kan, aku anak tunggal." Suara Linda bergetar, aku sempat terkekeh mendengar ocehannya. Lucu banget, sih, dia memang.