Bab 5B

336 2 0
                                    

"Kamu tahu, aku harus mengikuti ujian negara untuk bisa masuk ke jurusan dan universitas sebagus itu dan tidak semua orang yang bisa diterima di sana. Aku merasa beruntung bisa menjadi bagian di kampus itu. Kini aku tengah masuk semester 4, masih butuh beberapa tahun lagi untuk mendapatkan gelar sarjana. Ada rasa gimana gitu, kalo aku terpaksa harus berhenti setelah menikah nanti."

Lega hatiku setelah mengungkapkan keluh kesah kepadanya. Aku berharap dia mau mengerti, setidaknya membatalkan pernikahan yang mendadak ini. Aku belum siap menghadapi semua ini. Berkali-kali aku mengambil nafas panjang dan membuangnya pelan.

"Kenapa harus berhenti?"

Dia malah bertanya balik kepadaku. Apa dia sedang menjebak aku atau sedang berpura-pura tidak tahu. Kemarin aku membahas tentang kelanjutan kuliah yang akan aku jalani dengan papa, beliau bilang setelah menikah, semua keputusan ada di tangan suamiku. Jadi, yang berhak memutuskan apakah aku melanjutkan kuliah atau tidak, itu tergantung pada Mas Romi.

"Maksudnya aku boleh melanjutkan kuliahku sampai sarjana?" Aku mencoba menerka apa yang ada di pikirannya. Mudah-mudahan saja yang kutebak ini benar.

"Iya." Dia menjawab singkat dan refleks aku menoleh ke arah lawan bicaraku yang menyetujui aku melanjutkan pendidikan yang sudah menjadi cita-citaku sejak kecil.

Aku speechless, aku hilang kata. Apa aku harus mengucapkan terima kasih atas keputusannya? Ah, tetapi kenapa sulit bagiku untuk mengucapkan dua kata itu. Egoku terlalu tinggi untuk mengungkapkannya.

"Kalo soal itu, kamu tidak usah khawatir, kamu boleh lanjutkan kuliahmu sampai selesai. Aku tidak akan melarangmu." Dia menegukkan jus yang dipegang sedari tadi, pandangannya tidak ke arahku.

Tanpa sadar aku menyunggingkan senyuman tipis seketika karena aku merasa masa depanku ternyata tidak terlalu buruk. Aku masih bisa menggapai cita-citaku menjadi dokter. Kendatipun impianku bukan pernikahan karena dijodohkan. Aku menginginkan pernikahan dengan cinta pada pandangan pertama dimana kita saling jatuh cinta seperti film Romeo dan Juliet yang terkenal sangat romantis.

"Oh, ya, ada satu hal." Dia melanjutkan kalimat dan sorot mata menyapu wajahku. Keningnya berkerut seolah akan mengatakan sesuatu yang penting.

"Setelah kita menikah nanti, kamu tidak usah khawatir akan kebebasan dan kehidupan, asal ada batasannya. Kamu tidak perlu parno dengan setiap kewajiban yang harus kamu laksanakan. Aku tidak akan menagih hakku sampai kamu benar-benar bisa menerima komitmen pernikahan ini."

Aku memperhatikan setiap detail mimik wajah yang serius saat dia mendeskripsikan kalimat itu. Ya, setidaknya aku tenang kehidupanku selanjutnya, dia memberi ruang kebebasan, tetapi ada batas? Apa maksudnya? Entahlah, terserah dia saja. Aku tidak peduli dengan komitmen yang dimaksud.

"Ngomong-ngomong kenapa Mas Romi tidak menolak perjodohan aneh ini? Lagi pula masih banyak gadis lain yang lebih dariku. Jujur, aku sudah beberapa kali menolak, tapi keputusan papa itu kayaknya harga mati, tidak bisa aku bantah. Tapi kalau Mas Romi menolak, bisa jadi pernikahan ini tidak usah diteruskan. "

Aku berucap dengan hati-hati biar dia tidak tersinggung atau berpikir yang macam-macam. Aku masih menaruh harap ada keajaiban dimana dia yang mengusulkan untuk membatalkan perjodohan itu. Barangkali semuanya akan mulus jika dia yang meminta.

Tidak ada tanggapan apapun darinya. Dia hanya mengulum senyuman yang menawan, tetapi tetap saja aku belum berminat untuk membuka hati untuknya. Aku terlanjur menyukai kakak seniorku, Kak Arnold. Aku pun yakin dia memiliki rasa yang sama denganku.

Sesekali aku mencuri pandang ke arah calon suamiku itu. Dia masih bungkam dan menyandarkan punggung ke sofa tempat kita duduki, menerawang jauh, entah apa yang ada di pikirannya.  Aku merasa hambar bersamanya bagai ind0mie kuah tanpa bumbu.

Bagaimanapun dia adalah makhluk asing, baru beberapa kali aku bertemu dia di acara keluarga besar kala aku masih kecil. Itu pun sudah lama sekali, mungkin saat aku duduk di bangku SD atau SMP.

Saat itu pun kita tidak pernah bermain ataupun sekadar berbincang. Hanya bertegur sapa dan senyum kala kita berpapasan. Terakhir kita bertemu di acara sweet seventen-ku dimana aku mengundang beberapa teman dekat sedangkan papa mengundang saudara dan kerabat dekat saja.

Aku tidak begitu mengingat kejadian kala itu, tetapi sekilas aku melihat keberadaan Mas Romi di pesta itu. Dia bergabung dengan keluarga besar, sedangkan aku berkumpul dengan teman yang kuundang.

Sampai sekarang aku belum menemukan jawaban alasannya tidak menolak pernikahan karena perjodohan ini. Apakah dia memang tipe anak yang berbakti pada orangtua atau jangan-jangan? Ah, aku tidak boleh berprasangka buruk terhadap orang lain.

Aku menarik dan memeluk bantal pink berbentuk hati yang ada di sudut kasur. Hadiah ulang tahun sweet seventeen yang tidak kuketahui siapa pengirimnya. Bantal ini dibungkus dengan rapi yang dilengkapi dengan kartu ucapan yang berisi kalimat berbahasa Inggris.

Aku bergegas beranjak dari kasur menuju ke meja belajar. Aku membuka laci meja dan mencari kartu ucapan yang masih kusimpan di buku diary-ku.

Saat kubuka kembali kartu berukuran 15cm x 15cm berwarna biru dongker, tanpa sengaja aku menarik tipis kedua sudut bibirku ketika membaca kalimat itu dalam hati.

"Thanks for helping me know love and teaching me how to love someone sincerely"

Kalimat itu ditulis dengan rapi. Jujur, aku masih penasaran dengan orang yang telah mengirim bantal dan kartu itu. Sudah empat tahun berlalu, tetapi aku masih belum mendapatkan siapa orang iseng yang sengaja membuat aku ke-ge-er-an.

MENIKAH DENGAN PRIA DEWASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang