Mendengar saran kita, akhirnya Nella pun memperlambat kecepatan mobilnya. Mungkin dia tidak mau kita m@ti kon yol karena kecelakaan. Setelah menghadapi kemacetan yang begitu panjang, kita memerlukan waktu hampir dua jam sampai di rumah.
"Lo yakin enggak pa-pa? Enggak mau kita temani 'tuk kasih penjelasan kalau tadi memang macet di jalan."
Nella kelihatan prihatin dengan apa yang bakal terjadi. Kalau tidak diomeli, paling nanti diceramahi. Tidak ada bedanya, sih, sama-sama harus mendapatkan wajah jutek dan garangnya.
"Aku enggak pa-pa, kok. Kalian hati-hati di jalan, ya. Jangan lupa chat aku kalau sudah sampai di rumah." Aku berusaha menunjukkan wajah yang tenang, seolah mendapatkan omelan dari Mas Romi itu adalah hal biasa.
"Tapi, Gin, ini udah jam 12 lho. Lo, kan, enggak pernah selarut ini sampai di rumah. Mana lo tadi belum hubungi dia, kan, karena hapemu lobat."
Nella masih dengan nada cemas sedangkan Linda hanya mangut, pun bingung harus bagaimana.
"Kalian tenang aja. Santai, Girls. Udah ah, mendingan kalian pulang sana. Aku yakin aku akan baik-baik saja. Dia tidak bakal berani macem-macem ke aku." Aku mengakhiri pembicaraan, berharap mereka segera pulang karena malam semakin larut.
Aku melangkah pelan, masuk ke rumah setelah mobil Nella sudah melaju dan tak terlihat dari pandangan. Ada sengatan ketakutan tatkala aku membuka pintu. Derit pintu terbuka terdengar nyaring di rongga telinga. Suasana rumah gelap dan sepi. Dalam hati aku berdoa, semoga monster Hulk itu sudah bermimpi ke alam lain di kamarnya.
Namun sayang, ternyata Dewi Fortuna sepertinya belum memihak kepadaku. Sebab baru beberapa langkah aku mengayunkan kaki, lampu menyala, ruangan itu terang seketika. Aku berhenti berjalan kala melihat sosok yang ingin kuhindari ternyata sedang berdiri beberapa meter di depanku. Mau kabur, tetapi rasanya itu mustahil bisa kulakukan.
Pria berkaos putih dengan celana pendek katun memasang wajah yang tak bersahabat dengan sorot mata yang tajam merobek jantungku.
"Jam berapa sekarang?" tanyanya dengan suara lantang, menggema di gendang telingaku.
Rasanya aku tak sanggup membalas tatapan yang seolah ingin mencabik tubuhku. Setelah menunduk, aku melihat jam tangan tanpa menjawab. Iya, aku tahu kesalahan yang aku lakukan malam ini. Sudah jam 12 malam. Peraturan yang tertulis, maksimal jam sepuluh aku harus ada di rumah.
"Jam berapa?" tanyanya lagi dengan nada meninggi yang tak enak didengar.
Pertanyaan itu membuatku kaget dan mendadak jantungku berdebar tak karuan. Tatapan itu membuatku tak berani beradu pandang.
"Kamu bisu? Tidak bisa menjawab pertanyaanku?"
Suara itu semakin dekat. Detak jantung serasa berpacu cepat beriring suara langkah sandal yang beradu dengan lantai. Aku mendongak sedikit melihat dia mengikis jarak di antara kita.
Bersamaan dengan dia melangkah maju, kakiku pun refleks berjalan ke belakang untuk menjaga jarak dengannya. Sampai akhirnya, punggungku menabrak dinding yang artinya aku tidak punya ruang untuk melangkah mundur. Sementara dia terus melangkah ke arahku, membuat tubuh kita nyaris saling bersentuhan.
Dengan hanya sejengkal jarak kita, aku bisa merasakan hangat hembusan napas yang berat. Serasa ingin menjelma menjadi superhero Black Widow yang bisa menghilang seketika.
Kuberanikan diri untuk melirik sekilas rahangnya mengeras dan wajah yang memerah. Bisa kupastikan malam ini tingkat kemarahannya mencapai level sembilan dari angka sepuluh nilai tertinggi.
"Jam berapa sekarang?" bisiknya tepat di telinga, membuat aku menggeliat geli dan risih saat kepalanya menuduk ke arah sisi wajahku.
Tamat sudah riwayatku karena apa pun bisa terjadi malam ini. Aku tahu di rumah ini dialah yang memegang penuh kekuasaan itu. Banyak kemungkinan bisa saja terjadi, apa dia akan mem*kul, memaki, menj@mbak atau mel£cehkanku? Ah, otakku bergerilya ke mana-mana sehingga aku tak sanggup berpikir jernih.
Apa ada orang yang bisa menolongku? Bik Ima ke mana?
"Jam dua belas." Aku menjawab pelan dengan posisi tertuduk. Sengatan ketakutan masih menyelimuti rongga hatiku.
"Kau tahu kesalahanmu, Gina Nazia Handoko?" bisiknya di telinga dan menurutku, dia sengaja memanggil nama lengkap dengan embel nama belakangnya.
Hanya anggukan kecil untuk menanggapinya, pandanganku berpaling ke arah lain.
"Kenapa kau melakukan kesalahan yang sama? Kau tahu, ini bukan satu atau dua kali kau mengulanginya, kan?" sergahnya dengan nada yang mulai meninggi lagi.
Mungkin saja kalau aku minta maaf seperti yang sudah pernah aku lakukan sebelumnya, masalah akan selesai. Namun, entah mengapa, malam ini bibirku enggan mengucapkan kata maaf.
Diletakkan kedua tangannya ke dinding, menopang tubuhnya dan mengunci tubuhku. Tatapan itu masih sama, tatapan seekor singa yang ingin menelan mangsanya hidup-hidup.
Apa yang akan dilakukan Monster Hulk kepada istri kecilnya?
Bersambung.
Cerbung ini sudah tamat di KBM App (herlina_teddy) dan Karyakarsa (herlinateddy). Ada paket hemat dan murah Fullpart di Karyakarsa.