Bab 2B

645 4 0
                                    

Astaga sudah berapa kali dia menanyakan pertanyaan yang unfaedah itu. Kulihat Bik Ima mulai kepo dan menunggu jawabanku. Dia melipatkan tangan dan meletakkannya di atas meja.

Sebenarnya telingaku risih dengan pertanyaan Bik Ima karena aku tahu maksudnya. Selak beluk yang aku dan Mas Romi alami di rumah ini, beliau tahu semuanya. Namun, dia berjanji tidak akan memberitahu kepada siapapun termasuk orangtuaku dan orangtua Mas Romi.

Dari masalah aku dan Mas Romi pisah ranjang sejak malam pertama, perang mulut dan sikap dingin di antara kita. Beliau juga tahu kami jarang berbicara dan bertemu karena sibuk dengan kegiatan kita masing-masing.

Bik Ima memaklumi keadaan kita yang tidak saling kenal, lalu dipersatukan tali pernikahan. Cuma, ya, gitu, Bik Ima orangnya kepo, suka menyomblangi kita. Mana tahu ke depannya bisa saling mencintai, katanya begitu.

"Hm, enggak tahu, Bik. Aku kurang perhatiin, sih," jawabku berdusta. Aku tahu Bi Ima ingin mengorek bagaimana perasaanku kepada Mas Romi.

Sebenarnya kalau mau jujur, Mas Romi memang tampan dengan tinggi 175 centimeter. Hidung mancung, dada bidang dengan kemeja panjang yang selalu dikenakan, membuat dirinya terlihat seperti pria eksekutif muda. Aku yakin banyak cewek di luar sana, tidak akan menolak memandangnya. Namun, tidak denganku. Lantaran pada dasarnya, aku tidak begitu menyukainya.

Kata Bik Ima, dulu Mas Romi suka fitnes. Pantas saja ada otot kekar di lengannya. Hanya saja, akhir-akhir ini dia tidak melakukan olahraga rutin itu karena tuntutan pekerjaan yang menyita waktu. Kini dia lebih suka jogging berkeliling di sekitar perumahan.

"Udah hampir 1 tahun jadi istri Mas Romi, masa enggak pernah perhatiin, sih, Non?"

Kayaknya Bi Ima makin penasaran sambil melayangkan tatapan menyelidik. Benar-benar ya nih si Bibik, jiwa paparazi-nya lebih besar daripada kedua temanku itu.

"Gimana ya ...."

Sengaja aku menggantung kalimatku sambil menggigit bibir, pura-pura berpikir.

"Ngomong-ngomong, kenapa Bibi tiba-tiba tanya ini, sih?"

Aku melirik ke arahnya dengan tatapan penuh curiga. Apa jangan-jangan, ini bagian skenario Mas Romi untuk mengintrogasi aku? Ah, kenapa aku jadi curiga gitu ke dia. Mana mungkin dia se-kepo itu.

"Non Gina masih belum bisa menerima Mas Romi sebagai suami Nob?" Bik Ima malah bertanya lagi tanpa menjawab pertanyaan tadi.

"Apaan, sih, si Bibik, mah." 

Aku segera melahap satu sendok terakhir nasi goreng, lalu menandaskan susu. Aku bergegas beranjak dan siap-siap untuk pergi guna menghindar pertanyaan Bi Ima yang lainnya.

"Aku ke kampus dulu, ya, Bik. Taksi online-nya sudah datang." 

Aku pergi sebelum Bik Ima makin kepo, melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak ingin aku jawab sama sekali. Meninggalkan Bik Ima yang geleng-geleng sembari senyum sendiri melihat kelakuanku.

"Hati-hati, ya, Non."

"Iya." Aku masih menyahutinya meskipun kakiku sudah berada di teras rumah.

MENIKAH DENGAN PRIA DEWASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang