Bab 10A

268 0 0
                                    

"Ke supermarket, Non. Rutinitas awal bulan, beli bahan dapur, kebutuhan rumah, sabun, deterjen, apa lagi ya, banyak, Non. Mas Romi selalu ajak Bibik, soalnya dia tidak tahu apa aja yang dibutuhkan. Entar Bibik milih-milih, shopping ke mall, Non." Lalu, Bibik melanjutkan aktifitasnya memberi sedikit lipstik di bibir.

"Oh," kataku singkat.

Aku mengerti dan maklum kalau para pria agak kesulitan belanja bulanan untuk kebutuhan rumah tangga. Seharusnya itu memang tugasku sebagai nyonya rumah, tetapi mana kutahu? Dia saja tidak pernah membicarakan hal ini kepadaku. Bodo, ah.

"Ikut yuk, Non! Mumpung minggu ini Non Gina tidak ke mana-mana, sekali-kali ikut kita belanja. Jangan pergi bareng  Non Nella dan Non Linda mulu," ajaknya setelah dia selesai merias diri dan terlihat rapi.

Jujur, aku berada di ambang kebimbangan antara mau ikut apa tidak karena masih belum berani bertatap muka dengannya. Bagaimana kalau dia masih marah-marah di mobil? Terus, aku dijutekin dan dicuekin, gimana? Aku takut kalau harus merasakan aura amarah yang kemarin.

Namun, kala aku belum menyatakan iya, Bik Ima menarik tanganku menuju ke luar rumah dan mendorong tubuh menuju ke mobil yang sudah diparkirkan Mas Romi. Setelah sampai di samping mobil, Bik Ima membuka pintu mobil depan dan mempersilakan aku masuk.

"Ayo, naik , Non!"

Aku melirik ke dalam mobil dan mendapatkan Mas Romi yang sedang fokus dengan ponselnya. Taklama dia pun menempelkan ponsel dan memalingkan wajah ke arah berlawanan. Samar-samar, aku mendengar dia melakukan panggilan telepon, tetapi dengan siapa, aku tidak tahu.

"Buru, Non," desak Bik Ima sambil mendorong badanku masuk ke dalam mobil.

Dengan segala upaya mengendalikan perasaanku, akhirnya aku duduk di samping jok kemudi. Begitu pula dengan Bik Ima langsung mengambil duduk di jok penumpang.

"Berpakaianlah lebih sopan saat keluar rumah," ketusnya, sorot mata fokus di kaca depan mobil setelah dia mengakhiri sambungan telepon.

Aku tahu, sindiran itu tertuju kepadaku. Iya, aku hanya mengenakan kaos oblong dan celana pendek yang memperlihatkan aurat seorang wanita. Tadinya, aku tidak ada rencana ke mana-mana maka aku memakai pakaian santai. Mana kutahu kalau aku diajak Bibik ikut shopping ke mall. Ya, sudahlah, mending aku turun saja, tidak usah ikut kalau harus mendapatkan perlakuan dia yang dingin.

"Ya, sudah, aku tidak jadi ikut."

Baru saja, aku mau membuka pintu, tanganku dicekal dengan cepat. Refleks aku menoleh ke arahnya dan segera memalingkan wajah saat kedua mata kita bertemu.

"Ganti baju sana, aku tunggu di sini."

Dia memberi perintah dengan nada lembut. Tatapan yang diberikan juga bukan tatapan seekor singa seperti tadi malam. Oke, kalau begini caranya, aku akan menuruti perintahnya. Anggap saja, ini adalah bagian dari permohonan maaf dariku.

Aku pun turun dari mobil dan segera masuk ke rumah. Segera berlari, aku menuju ke kamar dan berganti pakaian lebih sopan. Blouse marron dan celana panjang skinny cokelat yang aku pilih untuk hari ini. Setelah selesai, aku kembali ke mobil karena tidak mau dia menungguku terlalu lama. Waktu yang aku butuhkan hanya lima belas menit. Aku masih sempat memoles bedak dan lipstik dengan tipis dan tak lupa menenteng tas tangan yang biasa aku bawa ke mana-mana.

"Lihat, Mas. Non Gina pakai apa aja tetap kelihatan cantik."

Kulihat Bik Ima yang duduk di belakang, menepuk pundaknya, memuji kecantikan yang kupunya. Sengaja, aku menengok si pemilik wajah tampan, tetapi dia tidak menyahutinya, bahkan tidak melirikku sedikit pun.

Malah dia langsung menginjak pegal gas dan melajukan mobil meninggalkan perumahan. Ya sudahlah, mungkin dia tipe manusia yang tidak bisa menghargai makhluk ciptaan Tuhan. Cantik gini, malah dikacangi.

MENIKAH DENGAN PRIA DEWASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang