Bab 9A

228 2 0
                                    

"Kalau terjadi apa-apa, siapa yang mau bertanggungjawab? Bagaimana aku menjelaskan kepada mama papa yang sudah menitipkan kamu kepadaku?" lanjutnya dengan nada membentak, sorot matanya seolah merobek jantungku.

Nyali makin menciut, nyeri hatiku mendengar bentakan itu. Seumur hidup, aku belum pernah melihat amarah yang kini memuncak. Aku merapatkan gigi, menahan perasaan dan berjanji tidak akan mengeluarkan setetes air mata di depannya. Tidak mau, dia meremehkan dan menganggap aku gadis lemah.

"Hari ini ke mana dan dengan siapa kamu pergi, nggak pamit langsung ke aku, kan?" lanjutnya lagi dengan nada sedikit melemah, tetapi rahangnya mengeras.

"Tadi pagi aku mau kasih tahu, tapi Mas tidak ada di rumah."

Berusaha memberi alasan, aku membela diri dengan suara pelan. Kuakui alasan yang kuberikan terkesan klise. Biarkan saja, yang penting aku menyahuti daripada nanti dia bilang aku tuli atau bisu. Kasar sih, menurutku saat dia m£makiku dengan dua kata itu.

"Kamu punya ponsel? Tahu nomor teleponku? Kamu bisa nge-chat enggak?" ketusnya dengan beberapa pertanyaan yang tak butuh jawaban.

Tuh, kan, aku bilang apa. Alasanku tidak diterima olehnya. Jawab salah, tidak dijawab pun salah. Serba salah aku dibuatnya. Kalau di matanya telah menganggap salah, apa pun yang aku utarakan, ya tetap salah. Mending aku diam saja daripada mulutku lelah menjawabnya.

 "Kamu anggap rumah ini hotel? Tempat kos? Terus, kamu anggap aku apa? ATM berjalan-mu?"

Dia terus mencecar kalimat yang seolah sedang memfitnah dengan mata melotot.  Nada suara itu terkesan mengintimidasiku, menuduh yang sama sekali tidak pernah terpikirkan olehku.

Bukan tidak menganggap, aku hanya tidak peduli dengan apa pun tentangnya. Aku juga tidak pernah meminta uang sepersen pun darinya. Dia yang mentransfernya untukku. Bahkan, kalau disuruh pilih, aku akan lebih memilih tinggal bersama orangtuaku, bukan di rumah ini.

Lalu, pria itu mengapit daguku dengan kedua jarinya, menggeserkan arah pandangku tertuju padanya. Posisi seperti ini, aku dapat membaca ekspresi wajah yang begitu menyeramkan. Tatapannya tajam men*suk nyeri ulu hati. Dengan sisa stok keberanian yang kupunya, aku menepis jarinya dengan menolehkan kepala ke arah lain.

 Dengan sisa stok keberanian yang kupunya, aku menepis jarinya dengan menolehkan kepala ke arah lain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
MENIKAH DENGAN PRIA DEWASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang