Bab 2A

719 5 0
                                    

Pagi ini, aku sengaja mengurung diri sampai jam delapan di kamar. Jadwal kuliahku di jam pertama pukul 10.00. Seperti biasa, aku menunggu Mas Romi berangkat ke kantor dulu. Iya, aku menghindarinya dan tidak mau berada satu meja saat menikmati sarapan pagi.

Setelah selesai membersihkan diri, aku mengenakan kemeja biru dan celana jeans khas anak kuliahan. Aku duduk di depan kaca rias, memberi sedikit polesan bedak dan lip gloss yang membuat aku makin cantik. Ditambah lesung pipit di pipi kiri yang aku miliki.

Kata mama, itu menambah pesona di wajah putihku saat tersenyum. Mama percaya lelaki mana pun yang menatap akan jatuh hati padaku. Duh, mama selalu memuji hingga aku merasa terbang melayang ke angkasa nan jauh di sana.

Namun, yang dikatakan mama itu benar adanya. Zaman duduk di bangku SMA, selain pintar aku juga dijuluki gadis pematah hati para pria. Pasalnya, banyak pria terutama senior yang ada di sekolah, sudah banyak yang aku tolak ketika mereka menyatakan cintanya.

Banyak juga di antara mereka sering mengirim hadiah atau cokelat untuk mengungkapkan perasaan. Namun sayang, tak satu pun hadiah itu aku terima. Semua barang tersebut, aku berikan kepada kedua sahabat yang siap menampungnya.

Setelah selesai berhias, aku mengayun kaki keluar dari kamar dan menuruni anak tangga menuju ke dapur. Saat aku sampai di meja makan, aroma nasi goreng plus telor ceplok menusuk rongga hidung. Perutku terasa lapar seketika. Susu UHT dingin pun sudah tersaji di meja makan. Semua ini sudah disiapkan Bik Ima, asisten rumah tangga kami sejak Mas Rayhan masih kecil.

"Hari ini masuk siang, Non?" tanya Bik Ima setelah melihatku menarik kursi dan duduk di sana.

"Iya, Bik. Jam sepuluh." Aku mengambil gelas berisi susu dan meneguknya. Adem rasanya tenggorokanku.

"Mas Romi tadi pagi-pagi banget jam tujuh udah berangkat, katanya ada rapat dadakan di kantor," jelas Bi Ima sambil mengelap kompor yang berminyak habis memasak. Posisinya memunggungi dan tak menoleh ke arahku.

"Oh," jawabku singkat, lalu memasukkan sesuap nasi goreng ke mulut.

Sebenarnya aku kurang tertarik dengan kabarnya. Sering tidak bertemu, itu membuatku lebih nyaman karena aku merasa lebih baik seperti ini. 

"Non!"

Bik Ima mendekati meja makan dan duduk di dekatku. Bik Ima memang sudah kami anggap orangtua, tidak pernah membedakan derajat antara majikan dan pelayan. Wanita berusia 48 tahun itu sudah bekerja lama di kediaman papa Mas Romi.

Nah, sejak kami menikah, Mas Romi mengajak Bik Ima untuk menemani dan melayani keperluan kami. Dari memasak, mencuci dan setrika pakaian sampai membersihkan rumah. Dulunya,  Bik Ima adalah pengasuh Mas Romi sejak mamanya meninggal karena kanker serviks yang dideritanya. Waktu itu, umur Mas Romi masih 10 tahun.

Aku menoleh sekilas ke wajah Bik Ima yang mulai muncul keriput halus, tapi buatku dia tetap nyaman dipandang.

"Menurut Non, Mas Romi itu ganteng enggak?"

MENIKAH DENGAN PRIA DEWASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang