Bab 4B

371 2 2
                                    

Entah apa yang merasuki kepala sehingga kalimat demi kalimat lolos begitu saja tanpa kupikir dulu. Bomat, ah.

"Kamu akan mengerti bagaimana perasaan itu kelak kalau kamu sudah menjadi orangtua," timpalnya dengan tatapan yang tak terlepas dariku. Rona wajah berubah, nadanya pun dibuat selembut mungkin.

Jujur, aku tak bisa membaca ekspresi wajahnya yang terlalu datar, apa dia sedang marah atau mungkin sedang menyudutkan.

Aku menarik napas panjang, membuang perlahan, berharap setiap kekesalan malam ini melayang ke udara bersamaan hembusan napasku. Menunduk karena aku enggan melihat kedua mata yang selalu mengintimidasi.

"Udah?" ketusku sambil berdiri tanpa melihat kedua mata yang menghujam ke ulu hati.

Ingin rasanya aku memiliki ilmu menghilang seperti pendekar kera sakti dalam serial televisi yang viral zaman 1990-an. Aku sudah tidak betah lama-lama di sini menghadapi pria sok ngatur yang tidak penting itu.

Pria berstatus suamiku pun ikut berdiri dengan sorotan mata tak suka. Sekilas, kulirik dia mengeraskan rahang dan mengepal tangan khas orang sedang menahan amarah. Di sini siapa yang seharusnya marah, aku apa dia?

Aku mendongak sedikit ke wajahnya, niat untuk menantang. Namun, nyaliku tiba-tiba menciut ketika tatapan yang kudapat adalah tatapan yang seolah ingin menerkam tubuhku hidup-hidup.

Dengan sedikit keberanian yang kumiliki, aku mengayunkan kaki, berlalu meninggalkan dia yang sepertinya belum puas dengan kuliah malam itu. Aku berlari kecil menuju anak tangga dan berharap dia tidak menahan langkahku. Lagi pula apa haknya mengatur kehidupanku? Aku saja tidak peduli dengan apa yang sudah dia lakukan selama hampir satu tahun ini.

"Gina, kamu mau ke mana? Aku belum selesai bicara," bentaknya dan aku tidak peduli. Aku terus berlari tanpa menoleh ke arahnya, lalu buru-buru masuk ke kamar dan menguncinya.

"Bodo amat," bisikku pelan saat aku bersandar di balik pintu.

Aku mengatur napas yang tersengah-sengah dan mengelus dada. Sengatan kekhawatiran tiba-tiba menyusup di hati dan beberapa kemungkinan pun mulai mengganggu pikiranku.

"Keberanian apa ini? Bagaimana kalau nanti dia gedor pintu? Atau besok kalau dia .... Tidak-tidak dia tidak bakalan berani. Setidaknya aku masih punya orangtua yang harus dia hormati. Dia tidak mungkin akan melukaiku." Aku bergidik ketika tatapan mata itu terlintas melewati benakku.

Sambil memijat pelipis, aku berjalan pelan dan memastikan dia tidak akan mengganggu dengan mengetuk pintu. Sebenarnya, belum pernah aku alami kejadian seperti malam ini. Aku hampir tidak pernah bertatap wajah dengannya. Kalau berpergian bersama, itu pun hanya sekadar acara keluarga besar. Itu pun bisa dihitung dengan jari.

Peraturan yang sudah dibuat manusia Hulk itu seperti harga m@ti yang harus dituruti dan dipatuhi. Aku tidak diperbolehkan menginap di rumah siapapun kecuali rumah orangtuaku. Tidak diizinkan pulang melewati jam sepuluh malam. Aku juga tidak bisa membawa teman untuk menginap. Dilarang keras mengunjungi pub dan minum minuman beralkohol. Selain itu, aku juga tidak diperbolehkan membawa teman pria masuk ke rumah ini kecuali kak Harris, kakak kandungku.

Gini banget ya, nasibku.

MENIKAH DENGAN PRIA DEWASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang