Bab 7A

236 0 0
                                    

"Girls, jangan lupa hari ini Band Ksatria konser mini di kafe Mansion, jam lima aku jemput, ya. Kalian siap-siap."

Satu pesan masuk dari Nella di WhatsApp group. Iya, tiket konser itu sudah lama kita beli dan jadwalnya malam Minggu ini pukul 06.00 sore.

Setelah selesai membersihkan diri dan merias wajah, aku pun keluar kamar sambil menenteng tas jinjing cokelat. Aku menuruni anak tangga lantas mengedar pandang ke sekeliling ruang tamu dan berharap tidak menemukan sosok Mas Romi di sana.

Lalu, aku melanjutkan langkah ke daerah dapur dan mendapatkan Bik Ima yang sedang menggoreng pisang.

"Wah, sudah rapi dan cantik aja, Non. Mau ke mana?" sapa Bik Ima ketika menyadari kehadiranku.

"Mau tahu aja, si Bibik, mah," godaku sambil mencomot pisang goreng yang sudah tersaji sebagian di meja.

"Main ama Non Nella dan Non Linda, ya?" tebak Bik Ima. Aku tahu sebenarnya Bik Ima sedang mencari tahu agar dia bisa melapor ke Mas Romi, ke mana aku pergi.

Aku mengangguk, "tuh, tahu. Dengan siapa lagi kalo bukan sama mereka, Bik? Soulmate Gina, 'kan cuma mereka."

"Udah pamit ama Mas Romi?" tanya Bibik lagi sambil membalikkan tubuh, menengok ke arahku.

Aku menggeleng sambil menoleh ke sana kemari, mencari sosok suamiku.

"Mas Romi ke mana, Bik? Tumben jam segini belum kelihatan."

"Pagi-pagi Mas Romi sudah ke kantor, ada rapat dadakan ama klien katanya, mungkin bentar lagi juga pulang, Non. Biasanya kalau Sabtu pergi ke kantor, ntar pulangnya siang apa sore," ujar Bik Ima panjang lebar. Iya, dialah yang paling tahu tentangnya karena dia selalu memperhatikannya.

Aku membentuk huruf O di bibirku tanpa bertanya lagi.

"Kadang Bibik kasihan sama Mas Romi, Non. Sehari-hari kerjaannya suka lembur, pergi pagi, pulang malam terus. Kalau weekend kayak gini suka ngantor juga. Nggak ada istirahatnya." 

Aku diam mendengarkan keluhan Bik Ima.  No comment. Intinya sih, aku tidak begitu peduli dengannya. Komitmen di awal pernikahan adalah tidak saling mengurusi kehidupan masing-masing.

"Sejak Mas Romi pindah ke kantor baru, Bibik perhatikan dia jadi agak sibuk. Bibik cuma khawatir, dia nggak memperhatikan jam makan. Entar maag-nya bisa kambuh lho, Non," kata Bibik dengan nada cemas. Lantas dia menutup kompor dan duduk di sampingku. Aku bisa membaca raut wajah prihatin seperti seorang ibu ke anaknya.

"Mas Romi sudah gede, Bik. Aku yakin dia bisa jaga diri sendiri, percaya aja, deh."

Sementara aku berusaha memberi kalimat positif agar dia tidak perlu cemas seperti itu. Memang benar kan, umur Mas Romi sudah kepala tiga, semestisnya tahu mana yang baik dan buruk. Apa yang harus dilakukan dan yang tidak. Masa hanya urusan makan saja, dia tidak bisa mengaturnya.

"Bibik cuma khawatir aja, Non. Bibi kenal betul Mas Romi. Sejak maminya meninggal, 'kan Bibik yang urus Mas Romi. Dia cenderung menjadi pendiam dan tertutup banget. Dulu waktu kecil, saat sakit, dia tidak mau kasih tahu Bibik. Dia menahan sakit itu sendiri, sampai bibik lihat wajahnya pucet banget. Akhirnya Bibik minta Tuan Latif bawa ke rumah sakit." Bik Ima bercerita dan mengenang masa kecil majikannya. Aku hanya menyimak sambil mangut-mangut.

MENIKAH DENGAN PRIA DEWASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang