Flash back
"Hai, pengantin wanita manyun aja dari tadi diperhatiin."
Lamunanku terurai ketika mendengar suara yang cukup akrab di telingaku. Sosok pria yang tampan yang selalu menjadi tempat bermanja saat aku butuhkan. Dia kak Harris Setyawan, kakak kandungku. Lalu, dia mengambil posisi tepat di kursi samping aku duduk.
Aku memberi senyuman tipis tidak berekspresi, hari itu aku tidak berminat berbicara dengan siapapun. Aku dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.
Seusai prosesi ijab kabul tadi, dilanjutkan perjamuan makan dengan saudara dan rekan kerja kedua keluarga. Beberapa teman Mas Romi pun tampak hadir sedangkan Nella dan Linda tak kuijinkan datang dalam perjamuan itu. Hari itu bukanlah hari bahagia yang patut dirayakan.
"Masih belum bisa menerima kenyataan?" godanya, menyikut lenganku sambil terkekeh.
"Apaan sih?" ucapku dengan nada kesal. Aku memajukan bibir beberapa centi. Aku tahu dia sedang menggodaku.
"Kadang aku mikir, kenapa ya, Papa egois banget. Seakan-akan dia bahagia di atas penderitaanku." Aku melanjutkan tanpa menghiraukan dia yang masih menertawakanku.
"Hush, kamu ngomong apa, sih?" Kak Harris memotong kalimatku. Sepertinya dia tidak setuju dengan pernyataanku.
"Menderita gimana?" Kak Harris mulai serius, aku bisa baca dari ekspresi di wajah itu, tatapannya mendetail ke dalam sorot mataku.
"Kak Harris 'kan tahu, aku tidak mau pernikahan ini. Papa seakan-akan memperalat aku sebagai bahan transaksi bisnisnya saja."
Akhirnya aku mengutarakan isi hatiku. Ini pertama kalinya aku memberitahu kepadanya. Akhir-akhir ini Kak Harris sibuk ke kantor membantu mengurus pekerjaan kantor, jabatannya manajer pemasaran. Seusai selesai S2, dia menggeluti bisnis bersama papa.
"Alasan kamu menolak pernikahan ini, apa? Takut tidak bisa melanjutkan kuliah? Tuh, aku denger, Romi sudah setuju kamu tetap lanjutin kuliah sampai selesai, bahkan katanya dia yang akan membiayai kuliahmu. Apa lagi alasannya?"
Dia membenarkan posisi duduk dan mencondongkan tubuh ke arahku. Mungkin agar bisa mendengar ucapanku dengan jelas. Ruangan itu dimeriahkan penyanyi yang diundang wedding organizer kami, membuat suasana menjadi sedikit riuh.
"Bukan masalah itu, Kak Harris enggak bakal ngerti perasaanku," sahutku cepat.
Iya, bukan soal lanjut dan biaya kuliah, aku hanya merasa beban status istri di usia dini. Aku tidak mau teman kuliah tahu kalau aku diam-diam menikah dengan pria yang jauh lebih dewasa dariku. Lagi pula sebenarnya aku sudah punya tambatan hati, kakak seniorku, Kak Arnold. Meskipun aku tahu Linda juga diam-diam suka dengan senior kita itu.
"Cinta? Kalian tidak saling cinta, trus disatuin oleh tali pernikahan? Kuno, itu mah. Cinta bisa tumbuh dengan sendirinya beriringan dengan waktu. Kalian bisa saling mengenal saat kalian sudah berada dalam satu atap nanti. Masih banyak waktu untuk membangun hubungan," jelas Kak Harris bak seorang psikolog yang membuatku mual seketika.
"Ya, mau aku sebelum nikah, ya kita pacaran dulu kek, saling kenal dulu. Biar bisa tahu, kita tuh cocok apa enggak."
Sebenarnya itu adalah alasan klise yang aku tambah-tambahkan. Bukan itu inti dari permasalahanku. Mungkin usiaku masih 19 tahun waktu itu, aku masih ingin bersenang-senang menikmati masa muda kayak teman seusiaku.
"Cocok." Kak Harris menyela dengan cepat.
"Tidak usah pacaran-pacaran segala kayak ABeGe aja. Toh, banyak yang pacaran sampai beberapa tahun, akhirnya putus juga. Pacaran tidak menjamin bisa sampai ke jenjang pernikahan," oceh Kak Harris, sama sekali dia tidak setuju dengan pandanganku yang harus berpacaran dulu baru menikah.
Aku tidak menanggapi ocehannya. Aku menyapu sekeliling ruangan dan sorot mataku berhenti pada wanita muda nan cantik dengan gaun mahal yang membalut sempurna di tubuh mungilnya. Wanita itu terlihat sangat anggun dengan riasan wajah yang cocok dengan usianya. Dia berdiri, tersenyum yang tak terlepas dari wajah oval, menemani ibu tiri Mas Romi. Agnes namanya, adik tiri Mas Romi. Sepertinya umurnya gak jauh denganku.
"Hey, kamu masih mendengarkanku?" Kak Harris mengibas tangan di depan wajahku.
"Eh, iya." Aku berkedip beberapa kali lalu menoleh ke wajah ganteng lelaki berjas hitam itu.
"Eh, yang aku tahu Romi itu pria yang baik, pintar, sopan, bertanggungjawab. Aku kenal dia. Dia 'kan seniorku waktu kuliah S2 di Amrik," puji Kak Harris membuatku memalingkan pandangan ke arah suamiku yang sedang berdiri di tengah ruangan, bercengkrama dengan beberapa rekan kerja yang hadir.
"Selain itu, dia juga sering berprestasi di bidang olahraga, juara renang se-kampus dan tim basketnya jadi tim favorit yang suka ikut pertandingan antar kampus." Kak Harris terus memujinya.
"Asal kamu tahu, yang Romi cari bukan pacar, tapi istri. Kepribadian, umur, dan jiwanya sudah matang." Kalimat itu adalah kalimat penutup pembicaraan kami.