bab 9C

239 2 0
                                    

"Pagi, Non," sapa Bik Ima setelah melihat keberadaanku di dapur.

Aku menyapa singkat sambil menyomot roti bakar. "Mas Romi belum sarapan?"

Iya, fix, aku harus minta maaf pagi ini.

"Belum turun, Non. Bibik juga lagi tungguin dari tadi." Beliau sibuk mencuci peralatan masak sekilas menoleh ke arahku.

"Tumben," jawabku asal sambil meneguk susu UHT yang disediakan untukku.

"Semalam Non ...." Sepertinya Bik Ima sengaja menggantung kalimat.

"Bibi tahu? Kenapa Bibik enggak samperin? Bantuin Gina." Sedikit kesal sih, kalau ingat kejadian semalam. Bulu kudukku berdiri sesaat.

"Bibik hanya sekilas dengar ada keributan, tetapi Bibik enggak berani ikut campur. Takut diomelin Mas Romi."

Oh, astaga, ternyata Bibik pun takut dengan monster Hulk itu.

"Tumben jam segitu, dia belum tidur. Apes banget aku kemarin, pake acara interogasi  kayak maling. Biasanya dia tidak peduli kan?"

"Siapa bilang Mas Romi tidak peduli ama Non Gina? Tiap malam pulang kerja, Mas Romi selalu tanya, Non Gina udah sampai rumah belum, udah makan belum, tadi pulang sama siapa. Non Gina aja yang tidak tahu karena sudah di kamar," ujar Bik Ima. Bersamaan itu, dia mengangkat telepon paralel di dapur yang berbunyi. 

"Iya, hallo," sahutnya setelah dia menempelkan ganggang telepon di telinga. "Baik, Mas. Siap. Bentar ya, langsung laksanakan." 

Lalu, Bik Ima meletakkan ganggang telepon ke tempat semula.

"Bentar ya, Non. Bibi anter sarapan Mas Romi dulu ke atas. Mas Romi mau sarapan di ruang kerja aja, katanya."

Bik Ima menaruh beberapa potong roti bakar dan susu di atas nampan stainless. Lalu, dia meninggalkan aku sendirian di dapur.

Tumben dia sarapan di atas, biasanya juga makan di sini. Apa dia masih marah, makanya tidak mau melihat dan satu meja denganku?

Namun, kalau dipikir-pikir, apa benar yang dikatakan Bik Ima kalau Mas Romi peduli dengan aku selama ini? Apa benar dia menanyakan kabarku pada Bik Ima, tapi kok, Bik Ima tidak pernah cerita?Aku pun tidak pernah melihat dia bertanya apa pun tentang aku selama ini. Ck, Bibik bikin penasaran aku saja. Aku harus bertanya hal ini.

Hanya butuh beberapa menit, Bik Ima kembali menuju ke dapur dengan tangan kosong. Aku langsung mencecarkan pertanyaan yang sedikit mengganggu pikiranku.

"Untuk apa Mas Romi tanya-tanya ke Bibik, apa aku udah pulang apa belum. Kepo amat, sih." Aku memancingnya agar dia mau membuka mulut. Ada rasa penasaran setelah pernyataan Bibik tadi.

"Ih, Non Gina. Wajar kalau Mas Romi tanya kabar Non Gina. Non Gina 'kan istrinya. Sebenarnya ya, menurut Bibik, wajar kalau semalam Mas Romi marah-marah. Non Gina pasti tidak kabarin Mas Romi kalau bakal telat sampai rumah?"

Bibik yang tadi sibuk membersihkan kompor, kini dia menarik kursi dan duduk di sampingku. Mimik wajah itu menyiratkan sesuatu, tapi aku tidak bisa menerkanya.

"Kalau Bibik jadi Mas Romi, Bibik bakal khawatir juga, Non. Soalnya sudah jam segitu Non Gina belum sampai di rumah dan tidak ada kabar. Mana tahu terjadi apa-apa di luar sana. Bibik lihat Mas Romi gelisah banget semalam. Berkali-kali mencoba menghubungi hape Non, eh, katanya tidak aktif. Gimana tidak panik, coba?"

Iya sih, kemarin pakai acara lowbat pula tuh ponsel.

"Iya lowbat. Hapeku mati," sambungku dengan perasaan sedikit bersalah.

"Nah itu, kemarin Bibik sudah ingetin Non Gina, jangan lupa pamit dulu ama Mas Romi. Non belum pamit, ya?" Dia bertanya dan aku  menggeleng.

"Pantesan Mas Romi cemas , Non. Udah jam berapa, istrinya belum pulang, hapenya tidak bisa dihubungi. Bolak-balik tanya ke Bibik, Non Gina pamit tidak ke Bibik. Bibik bilang, pamit sih pamit, tapi tidak bilang mau ke mana. Habis kemarin Bibik tanya Non, Non tidak kasih tahu, kan? Untung belum dilaporin ke polisi kalau istrinya hilang." 

"Iss, Bibik mah, enggak usah lebay." Aku mencubit tangannya yang sedikit keriput dan dia meringis kesakitan.

"Iya, non. Bibik pernah nonton di berita-berita, Sekarang banyak pencul!kan, per@mpokan, ngeri pokoknya, Non."

Aku menggaruk kepala yang tidak gatal sambil manyun karena rasa bersalah menguasai diriku. Kalau dipikir-pikir, memang sedikit keterlaluan sikapku kemarin. Akan tetapi, ini bukan kesalahanku sepenuhnya. Ponselku lowbat tidak bisa mengabarinya. Jalanan macet karena hari weekend. Seharusnya dia bisa memaklumi, tidak sembarangan marah tanpa mendengar penjelasanku. 

"Bik, sudah siap?" Suara Mas Romi terdengar dari arah luar dapur, tetapi bayangannya tidak kelihatan.

"Oh iya, Mas. Bentar, Bibi sisiran dulu." Bibi bergegas menyisir rambutnya yang tipis di depan cermin wastafel dan memoleskan sedikit bedak.

"Mau ngapain, Bik?" tanyaku iseng setelah aku memastikan Mas Romi sudah tak berada di sana karena tidak ada sahutan apa-apa di antara mereka.

"Anu ...." Bik Ima menghentikan aktifitasnya dan menoleh ke arahku.

Cerbung ini sudah tamat di KBM App (herlina_teddy) dan Karyakarsa (herlinateddy)

Cerbung ini sudah tamat di KBM App (herlina_teddy) dan Karyakarsa (herlinateddy)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
MENIKAH DENGAN PRIA DEWASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang