Asap rokok mengempul di udara melalui mulut Gama. Kepalanya mendongkak menatap dedaunan yang lebat pada ranting pohon di atas kursi yang Ia duduki. Matanya sesekali mengawasi keadaan sekitar halaman belakang sekolah. Inisiatifnya merokok di toilet gagal setelah seorang siswa lain terpegok oleh guru di sana. Toilet sekolah bukan hanya sebagai untuk pelarian siswa bandel yang bolos saat jam pelajaran, siswa pintar pun menggunakan fasilitas itu, apalagi kalau OSIS sudah berpatroli ke tempat itu, perokok bisa langsung tertangkap basah dan diseret ke BK.
Ternyata ada tempat yang sunyi seperti ini.
Gama kembali menghirup rokok di tangannya. "Maaf, Tan, Gama khilaf," gumamnya.
Aktivitas merokok sudah menjadi kebiasaan Gama yang sulit Ia hilangkan selama dua tahun terakhir. Padahal dia tidak ingin menghabiskan uang yang diberikan Janet padanya. Bahkan dia hanya membeli rokok eceran demi menyisakan beberapa uang untuk kebutuhan yang lain. Setidaknya dia menghindari kehabisan stok uang yang akan membuatnya meminta pada Janet lagi.
Ayahnya sudah lepas tanggung jawab karna berakhir mengeyam hidup dalam deruji penjara atas perbuatannya sendiri. Selama ini Gama selalu dididik secara kasar. Ayahnya selalu membuat dalih kalau dia bekerja keras untuk menghidupi Gama. Padahal Gama yang selalu menjadi korban dari pelampiasan sakit hatinya.
Sesaat rokok yang berada di mulutnya itu terlempar ke tong sampah pohon. Rokok itu tidak melayang sendiri. Seseorang tiba-tiba merampasnya begitu saja.
"Mezza, lo tahu satu batang rokok itu sangat berharga buat gue?" gerutu Gama melirik cewek yang sudah duduk di sampingnya.
Mezza menyodorkan sebuah roti yang masih dalam bungkusan pada Gama. "Lebih berharga kesehatan lo!" balasnya tersenyum. "Nich makan!"
Gama membuang mukanya setelah melihat sebungkus roti yang diberikan Mezza untuknya. "Lo pikir roti bisa kenyang?" sungutnya.
"Emang makan asap juga bikin kenyang?" Mezza memaksa tangan Gama menerima roti pemberiannya. Dia juga membawa satu lagi untuk dirinya sendiri.
Gama mendengus saat melihat sebungkus roti yang sudah ada di tangannya. Lalu melihat Mezza yang juga memakan roti yang sama. "Ternyata lo cerewet juga ya! Muka polos lo itu cuma kedok!"
Mezza tidak menjawab perkataan Gama. Dia hanya menikmati roti miliknya. Saat itu juga Gama tidak berhenti memperhatikannya. Cowok itu geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Meski dia kesal karna Mezza sudah membuang batang rokok yang satu-satunya dia punya, melihat wajah luguh Mezza, mana mungkin dia bisa marah lebih lama. Dia pun akhirnya mengicipi roti yang Mezza berikan. Sayang juga rotinya kalau cuma dilihatin.
"Katanya gue nggak boleh jauh-jauh dari lo, tapi lo sendiri yang tinggalin gue!" Mendadak Mezza membuka obrolan di tengah keduanya menikmati rotinya masing-masing.
Gama menguyah rotinya dulu di mulutnya sebelum menjawab perkataan Mezza. "Tadi Adrian ngajak lo ngobrol, jadi gue keluar kelas dulu dech! Kayaknya lo juga akrab sama ketua kelas itu?"
"Mungkin," balas singkat Mezza.
"Mungkin apanya? Jawaban lo nggak pernah connect sama pertanyaan gue!"
Mezza langsung tertawa kecil sembari menutup mulutnya dengan telapak tangan yang masih ada sisa kunyahan roti. "Adrian itu baik ya? Dia cowok yang lembut dan peduli sama sesama teman. Dia juga bisa masak sendiri, anaknya rajin, apalagi dia suka sama kucing."
Kepala Gama rasanya pusing mendengar perkataan Mezza yang melenceng dari pertanyaannya. Dia hanya ingin tahu hubungan Mezza dengan Adrian, tapi cewek itu malah menceritakan sosok Adrian. Padahal itu sama sekali tidak penting baginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEZZALUNA [TERBIT]✔
Teen Fiction{Cerita ini sudah terbit di Teori Kata Publishing. Bonus Chapter versi novel cetak) ••••••• *Cerita ini tentang anak-anak yang beranjak remaja, yang merasa kehilangan tempat untuk pulang, juga sebagian dari mereka yang sedang mencari jatih diri. Cer...