Part 19

34 13 0
                                    

Mezza meletakkan sebuket bunga tulip putih dengan pita pink di atas nisan kramik hitam, atas nama 'Suha Syahla Ayuti'. Dia juga menyingkirkan bunga tulip yang sudah kering. Sebuket bunga yang dia berikan dua minggu yang lalu memang sudah waktunya untuk diganti.

"Maaf ya, Jumat lalu, gue nggak bisa mengunjungi lo," ucap Mezza dengan rasa bersalah yang teramat dalam. Jika saat itu dia tidak melihat Adrian, mungkin rutinitasnya setiap Jumat kemarin tidak batal.

Bukan hanya membawakan bunga dan memanjatkan doa. Dibantu oleh Gama yang masih menemaninya, Mezza mencabuti rumput-rumput panjang yang merusak pandangan makam yang selalu bersih itu.

"Lo tau, Gam, apa arti Bunga Tulip Putih?" tanya Mezza dengan bibir yang gemetar.

Gama mengangkat kedua pundaknya. "Gue nggak suka bunga, jadi gue nggak tau makna dari semua bunga," balasnya.

"Bunga Tulip melambangkan permintaan maaf," lirih Mezza.
Gama cengoh menatap Mezza. Tangan gadis itu meremas rumput yang barusan Ia cabut dari tanah merah. Berlahan Mezza menitikkan air mata ke pipinya. Kesalnya dia selalu berusaha tersenyum di hadapan makam Suha, tapi dia malah selalu menangis. Air matanya turun sendiri tanpa Ia mau. Berakhir dengan suara isakan yang mencekik napasnya.

Meski ragu, tapi pelan-pelan tangan Gama menyentuh pundak Mezza. Gadis itu menundukkan kepalanya di atas lutut dan mulai menangis. Mezza selalu melakukan hal yang sama. Dia tidak pernah bisa menaklukan rasa bersalahnya hingga membuatnya terus menangisi keadaannya. 

"Maaf...maaf...maaf, Suha..." suara lirih Mezza membuat Gama meremas genggamannya.

"Maafin gue..., maaf, maaf." Kata itu terus-menerus diucapkan  oleh Mezza. Entah seberapa besar kesalahannya sampai ribuan kata maaf yang dia ucapkan belum cukup untuk menebus semuanya.

"Semua udah lewat, Za. Nggak ada yang harus disesalkan. Kenapa lo menangisi sesuatu yang udah berlalu? Gue yakin, permintaan maaf lo itu udah melebihi batas kesalahan lo," tukas Gama.

Mezza mengangkat kepalanya sembari melepaskan kacamatanya yang sudah basah oleh air matanya. "Nggak bisa. Gue harus memastikan kalau Suha bisa maafin gue."

"Dia udah mati, Za! Jawabnya gimana coba? Lo nggak bisa memastikan kecuali Tuhan baik ngegidupin dia lagi buat jawab permintaan maaf lo itu! Atau lo dikasih keistimewaan buat dengerin suara dalam kubur!" geram Gama.

Hati Mezza tersentak mendengar nada bicara Gama. Ia lalu menyeka air matanya sendiri dengan kasar. "Udah gue tebak. Percuma gue cerita semua tentang masa lalu gue ke elo. Lo nggak akan pernah paham sama perasaan gue, Gam!"

Gama menelan salivanya atas perkataan menohok Mezza. Apa dia barusan terlalu keras? Dia jadi terbawa suasana karna mendengar tangisan Mezza dan permintaan maaf yang mengganggu pendengarannya itu. 

"Seharusnya gue nggak ngajak lo ke sini," tegas Mezza. "Bu Janet nggak pernah bicara sekasar itu, meski dia sering bilang kalo gue nggak perlu merasa bersalah."

"Gue cuma nggak suka lo terus minta maaf sama apa yang terjadi di masa lalu lo. Karna gue yakin, lo nggak sepenuhnya salah," pungkas Gama.

"Mana bisa lo bilang kayak gitu, Gam!" Mezza mendorong pelan pundak Gama. Suasana sunyi yang mencekik di lokasi pemakaman membuat suara Mezza nyaring. ”Lo kayak tahu aja apa yang gue lakukan selama ini.”

Gama hanya menundukkan kepalanya sambil menghela napas berat.

"Apa gue nggak boleh merasa gagal dan menyesal sama masa lalu gue? Masa lalu nggak pernah menjadi sesuatu yang berlalu dan lenyap dalam hidup gue, Gam." Air mata Mezza kembali membasahi pipinya. Ia memukul dadanya yang sesak berulang kali.

Gama diam seribu bahasa. Dia kesulitan memberi balasan untuk kalimat Mezza yang juga mewakili perasaannya. Masa lalu yang telah membentuk perubahan karakter cewek itu selama ini. Waktu demi waktu, setiap pengalaman merubah sikapnya dalam memandang dunia. Meski terlewati, masa lalu sangat berdampak untuk masa kini, dan akan terus berdampak ke masa selanjutnya.

"Gue, nggak tau apa yang harus gue lakukan, Gam! Gue juga pengen bebas sama apa yang terjadi di masa lalu gue, tapi nggak bisa, Gam." Tangisan Mezza makin memecah membuat Gama semakin kacau melihat mata sembab gadis itu.

Dengan langkah cepat, Gama meraih tubuh Mezza ke pelukannya. Meski Mezza hampir kaget Gama tiba-tiba memeluknya, dia akhirnya ikut memeluk cowok itu. Ternyata masih ada sosok teman yang mau memberinya rasa aman. Cowok yang hampir dia marahi itu tidak menyerah untuk menenangkannya.

"Gue sakit, Gam," lirih Mezza. "Hati gue, mental gue, dan semuanya. Rasanya cuma sakit, Gam."

Gama memejamkan matanya membiarkan tubuh kecil Mezza meluapkan semua kesedihan itu padanya. Suara isakan Mezza pun masih Ia dengar dengan jelas. 

“Kalian ngapain di sini?” suara itu membuat mereka berdua saling melepaskan pelukan.

Sesosok cowok berjaket Hoodie hitam itu muncul lagi ke makan Suha. Pijakan kaki Mezza menjadi gemetaran di tanah itu. Dia tidak bisa kabur seperti hari Jumat kemarin dengan posisinya yang masih berada di samping makam Suha.

Gama berdecak kesal melihat kehadiran Adrian yang merusak momennya berduaan dengan Mezza. Di makam? Atmosfir romantisme yang berbeda. "Lo ngapain sih ngikutin mulu!" gerutu Gama pada Adrian.

Adrian mengangah dengan ekspresi kebingungan. "Gue yang harus tanya sama kalian, apa yang sedang kalian lakukan di makam? Apalagi di makam orang yang gue kenal?"

"Makam siapa kata lo?" bingung Gama. "Ini makam teman SMP-nya Mezza!"

"Teman Mezza?" ulang Adrian.

"Gama!" bentak Mezza pada Gama yang tidak tahu apa pun tentang Adrian.

Mezza langsung memekik suaranya saat Adrian menoleh ke arahnya. Tatapan Adrian turun melihat makam Suha. Bunga Tulip Putih yang sebelumnya kering sudah digantikan dengan yang segar. Mezza pun menyembunyikan bungkus buket bunga tulip yang kelopak keringnya berjatuhan di tanah.

"Jadi, orang yang selalu meletakkan Bunga Tulip di makan Suha, itu elo, Za?" tanya Adrian memastikan.
Berlahan meski meragu, Mezza hanya menganggukkan kepalanya.

"Lo teman SMP-nya Suha?" tanya Adrian sekali lagi memastikan apa yang sempat dikatakan Gama.
Adrian tiba-tiba menyentuh kedua pundak Mezza, dan menatap serius cewek itu. "Kalo lo tahu sesuatu tentang apa yang terjadi sama Suha. Katakan, Za!" mohon Adrian. Mezza hanya mematung dengan mulut yang terkunci rapat.

"Za, lo tau kan apa yang terjadi sama Suha? Apa lo tahu kenapa Suha sampai mengakhiri hidupnya?" cercah Adrian terus mengintrogsinya. Padahal belum tentu Mezza adalah seorang saksi atas kematian Suha. Cewek itu kembali menangis tanpa menjawab pertanyaan Adrian.

"Za, kenapa lo nangis? Apa yang terjadi sama Suha?" Adrian terus bertanya yang membuat hati Mezza makin sesak. Bagaimana kalau Adrian tahu kebenarannya bahwa Mezza-lah penyebab kematian Suha?

Gama mendorong Adrian menjauh dari Mezza. "Jangan maksa bisa nggak! Jangan tanya hal itu sama Mezza! Dia nggak tau apa pun!"

"Tapi--" Adrian langsung bungkam mendengar isak tangis Mezza. Pertama kalinya dia melihat Mezza menangis. Dia semakin tidak mengerti kenapa pertanyaannya sampai membuat cewek itu menangis sesegukan.

”Tanya aja sama teman sebangku lo, dia juga satu sekolah sama Mezza saat SMP,” ucap Gama mengingatkan Adrian tentang Starla.

Gama pun membawa Mezza pergi dari lokasi pemakaman. Kali ini Mezza hanya menundukkan kepalanya meski Adrian memanggilnya lagi. Dia sudah meramalkan bahwa pertemuannya dengan Adrian akan sama dengan orang-orang yang meninggalkannya. Suatu saat nanti Adrian akan tahu kebenaran tentang Mezza. Selanjutnya, Adrian pasti akan membencinya. Tidak. Mezza tidak sanggup mengatakan apa pun pada Adrian.

MEZZALUNA [TERBIT]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang