Part 22

18 11 0
                                    

Bentuk bintang dan bulan nyaris tersapu ombak yang tidak berhasil mencapai garis ukiran itu di atas pasir putih tepi pantai.

Satu gadis berlari kecil menggapai ranting. Ia mengukir lagi sebuah tulisan di bawa bentuk bulan dan bintang.

Luna dan Suha adalah sahabat yang tak terpisahkan.

"Kepada matahari, cepatlah terbenam. Kami ingin melihat bulan dan bintang secara bersamaan!" teriak Luna memeluk Suha yang berdiri di sampingnya.

Keduanya berdiri tepat ketika matahari tinggal setengah kelihatan di bibir pantai.

"Anshu, jangan menjeputku, aku ingin menghabiskan waktu bersama Luna." Suha ikut berteriak.

"Anshu? Siapa?" tanya Luna.

"Dia temanku," jawab Suha sambil senyum-senyum malu.
Luna menunjuk bibir Suha yang tengah menahan senyum.

"Bohong kalo cuma teman. Pacar kamu ya?"

"Enggak. Kita masih SMP, kata Umi nggak boleh pacaran dulu."

"Tapi kamu suka kan sama dia?"

Suha kembali menampilkan senyum tersipunya itu. "Aku mulai menyukainya."

Luna sengaja menyenggol bokong Suha sampai terpental. "Cieee....nanti kenalin ya!" guraunya.

Ini cuma mimpi...suara lirih bergetar di bibir Mezza. Tersadar kalau apa yang di dalam mimpinya hanyalah sisa ingatan dan kekhawatiran yang singgah dalam pikirannya. Berlahan, mata Mezza makin terbuka sempruna, dia menemukan sesosok wanita yang tidak asing menyambut paginya. Bukan. Itu bukan Janet. Tapi Lucy.

Mezza hanya menatap Lucy yang hanya berdiri di depan ranjanganya setelah penglihatannya normal. Kesadarannya juga mulai penuh. Sayangnya Mezza masih bingung apakah dia masih bermimpi atau sudah bangun.

"Bangunlah, ini udah jam 6," ucap Lucy.

Mezza terlonjak meraih jam bekernya. Benar saja, dia tidak menekan tombol alarmnya lagi setelah sholat subuh. Dia kembali melihat Lucy yang meracuti beberapa makanan ringan di atas karpet, juga menutup laptop yang masih menyala. Setelah pulang dari rumah Janet, Mezza hanya menontot film sampai dia mulai merasa ngantuk dan merebahkan tubuhnya begitu saja di atas karpet. Dia terbangun sekitar jam setengah 4 untuk sholat subuh dan kembali tidur di atas kasur. Makanya tidak sempat membereskan kamarnya. 

"Bu Janet di mana?" tanya Mezza heran.

Lucy menghela napas. Ibu kandung Mezza sudah berada di depannya, membangunkan Mezza dengan baik. Tapi anaknya itu malah mengingat Janet. Namun ini wajar untuk Mezza. Dia selalu menemukan Janet setiap bangun tidurnya. Bukan Lucy.

"Dia nggak kerja lagi di sini," jawab singkat Lucy melangkahkan kakinya keluar. Tapi pertanyaan dari Mezza kembali Ia dengar.

"Maksudnya apa? Bu Janet di mana?"

Lucy lalu menoleh ke arah Mezza. "Mulai sekarang kamu harus belajar mandiri."

"Mama," suara Mezza memelan. Dua tahun bukan waktu yang lama untuk dia sempat berhenti menyebut panggilan itu. Selama itu, dia tidak pernah berkomunikasi apa pun dengan  Lucy.

"Apa? Kamu mau tanya apa lagi, Luna?" Tatapan Lucy menyipit. Hatinya tersentuh saat Mezza kembali memanggilnya. Begitu pun Mezza, mamanya yang masih memanggil namanya dulu membuat jantungnya sesak. 

"Mama pecat Bu Janet?" tanya Mezza memastikan kalau dugaannya salah.

"Bu Janet yang mengundurkan diri tadi malam setelah kalian pulang."

Mezza geleng-geleng kepala. Air matanya langsung tumpah. Lucy terkejut melihat anaknya sampai sesedih itu hanya mendengar Janet tidak bekerja lagi untuknya.

MEZZALUNA [TERBIT]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang