"Lo nangis?"
Raina menggeleng juga segera menghapus air mata yang jatuh di pipinya, lalu ia pun kembali tersenyum seperti biasa.
"Kamu mau tau rahasia tentang aku nggak?"
"Rahasia? Rahasia apa?" balas Nata seraya menaikkan satu alisnya menunggu apa yang akan dibicarakan oleh perempuan itu.
Raina menghela napasnya kasar, lalu mulai bercerita dengan senyum yang tak lepas dari raut wajahnya.
"Dari kecil Mama selalu ngajarin aku untuk selalu menerima takdir dengan tabah, mau takdir itu bahagia ataupun sebaliknya. Karena kata Mama Tuhan itu udah mempersiapkan yang terbaik untuk kita, hanya, Tuhan ingin tahu seberapa kuat kita untuk menghadapi sesuatu dalam hidup."
Nata terdiam, menunggu kelanjutan ucapan Raina yang membuat hatinya begitu sejuk.
"Kamu tahu? Hidup aku mungkin nggak beda jauh sama kamu Nat, garis takdir kita mungkin sedikit sama, apa jangan-jangan kita jodoh ya?" Canda Raina dalam ceritanya, agar tidak terlalu ditanggapi menegangkan.
Nata memutarkan bola matanya malas, lalu menaikkan satu alisnya menunggu kelanjutan ceritanya lagi.
Namun bukannya dilanjutkan, Raina malah terdiam, menatap wajah pria itu salah tingkah.
"Nggak usah bercanda!" ujar Nata datar tanpa ekspresi.
Raina tertawa kecil, lalu mulai kembali melanjutkan ceritanya.
"Waktu kecil, aku pernah di diagnosa oleh dokter mempunyai penyakit tumor otak. Tapi syukurnya, nggak lama penyakit itu sembuh dengan operasi dan juga berkat Mama yang selalu sabar ngerawat aku. Aku tumbuh besar tanpa adanya sosok Papa. Papa ninggalin aku dan Mama karena selingkuh sama perempuan lain."
Nata terkejut bukan main, ternyata dibalik wajah Raina yang selalu ceria, perempuan itu malah menyimpan sisi kelam yang begitu dalam.
Tubuh Nata membeku, dirinya tak tahu harus menanggapinya seperti apa.
"Kenapa diem?" tanya Raina seraya melambaikan tangannya dihadapan wajah Nata.
Nata menggeleng, lalu ia pun kembali berbicara.
"Nggak, cuma kaget aja," jawab Nata dengan membuang wajahnya ke arah lain.
Nata tidak habis pikir dengan Raina, mengapa perempuan itu tidak pernah terlihat mengeluh dengan kehidupannya yang dulu. Pasti apa yang dialaminya sangat berat.
"Kenapa lo bisa ngejalanin kehidupan yang dulu tanpa ada rasa benci?"
Raina pun berpikir, lalu kembali berbicara
"Hmm... Seperti yang tadi aku bilang, Mama selalu ngajarin aku untuk selalu sabar. Kita bisa apa Nat? Marah juga nggak bisa merubah keadaan kan."
Deg...
Seketika ucapan Raina tadi membuat Nata bagaikan tersambar petir. Entah mengapa Nata merasa malu dengan perempuan itu. Sikap Nata untuk menghadapi kehidupannya begitu berbanding terbalik, untuk menghadapi masa lalunya ia selalu melampiaskan emosinya kepada orang lain, termasuk Raina.
Hening, lagi-lagi mereka terdiam sejenak dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba Raina pun kembali berbicara yang membuat hati Nata beralih menjadi sedikit kesal.
"Nat, entah kenapa, aku rasa Tante Nila itu orang yang baik."
Nata mengernyitkan keningnya saat mendengar pernyataan Raina tadi. Ketika mendengar nama Nila, seperti biasa perasaan Nata begitu bercampur aduk.
"Kenapa lo bisa bilang gitu?" ujar Nata dengan raut wajah dingin tiba-tiba.
"Nat kamu jangan marah, aku cuma pikir kalau..."
"Lo nggak tau apa-apa, jadi jangan pernah memberi kesimpulan yang diri lo aja nggak tau kebenarannya gimana," potong Nata seraya langsung berdiri tegak karena kesal.
"Lo pikir masa lalu kita sama? Nggak! Jangan sama-samain hidup gue sama lo Ra! Lo masih punya orang tua yang sayang sama lo, sedangkan gue?"
Tubuh Raina membeku, perempuan itu tak tahu harus beranggapan seperti apa, sepertinya ia sudah salah bicara dengan waktu yang juga tidak tepat.
"Maaf, aku udah buat kamu tersinggung," lirih Raina, "Tapi aku bisa lihat kalau Mama kamu adalah orang yang tulus," ujar Raina kembali dengan suara pelan.
Mendengar hal itu saja Nata sudah merasa muak, pria itu segera menutup mata untuk mengontrol emosinya sejenak. Ia menarik napas dalam-dalam dan membuangnya dengan kasar.
Setelah beberapa detik cukup tenang, Nata pun langsung membuka matanya perlahan. Tiba-tiba alangkah kagetnya ia saat melihat Raina yang penuh dengan tetesan darah di bajunya.
"Raina!!!" kaget Nata dengan langsung berlutut di hadapan perempuan itu.
Tatapan Raina memburam saat melihat Nata yang sedang panik dihadapannya.
"Ra lo mimisan!" panik Nata yang langsung spontan menyeka darah yang mengalir dengan tangannya.
"A--aku nggak papa kok."
"Nggak papa gimana, muka lo aja udah pucat," jelas Nata seraya merogok saku celananya mencari sesuatu.
Setelah mendapatkan apa yang ia cari, pria itu pun langsung mengaitkan anak rambut Raina ke telinganya, dan kembali menyeka darahnya dengan sapu tangan.
Wajah mereka kini sangat dekat, Raina memperhatikan wajah Nata yang tampan dengan senyuman lemah. Tak lama tatapan mata mereka pun bertemu, Nata baru saja menyadari betapa indahnya bola mata perempuan itu, ukiran wajahnya yang cantik membuat Nata lagi-lagi terpesona saat melihatnya.
"Nat?" panggil Raina.
Hening, tak ada jawaban dari Nata, pria itu masih sibuk menatap lekat wajah gadis itu.
"Nata?" panggilnya gadis itu lagi dengan lembut.
Nata mengejapkan matanya, sadar dengan apa yang ia lakukan.
"Ah maaf," ucap Nata seraya langsung membuang wajahnya.
"Pegang! Buat tahan mimisannya," ucapnya lagi dengan langsung memberikan sapu tangannya.
Raina mengangguk. Mereka sama-sama saling membuang wajah dengan tersipu malu.
To Be Continued
____________________________________
Masa lalu memang sulit untuk dilupakan😭
Penasaran apa yang terjadi selanjutnya, sampai jumpa di next part👋
KAMU SEDANG MEMBACA
A Game of Fate [SELESAI]
Ficção Adolescente"Nata, makasih ya untuk semua memori indah yang kamu beri untuk aku. Sekarang aku izin pamit. Maaf aku nggak bisa menepati janji aku untuk kamu." "Kamu nggak boleh pergi ke mana-mana Ra!?" "Raina!?" Deonata Lio Bagaskara, laki-laki dengan penuh seju...