Tubuhnya seketika dingin dan membeku saat membaca bagian kalimat pertama. Detik ini juga dalam dirinya begitu banyak pertanyaan yang terlintas. Surat apa ini? Untuk apa Papa buat surat seperti ini? Pertanyaan itulah yang sedang ada dalam batinnya.
"Maaf Pa, kalau Nata lancang baca surat ini, Nata penasaran apa yang Papa tulis buat dia," ujar Nata sendiri sebelum membaca isi surat tersebut.
Nata menarik napasnya dalam, lalu mulai membaca satu per satu kalimat yang ada pada surat itu.
Teruntuk Istriku, Nila
Saat aku termenung dalam diam, detik dan waktu itu juga aku sangat bersyukur dipertemukan oleh takdir untuk berjumpa denganmu.
Nila, aku mencintaimu melebihi apapun, namun, entah mengapa, aku rasa tak akan dapat bertahan untuk menemanimu dan melihat anak kita tumbuh besar bersama. Semakin hari tubuh dan pikiranku melemah. Penyakit yang aku derita mustahil untuk sembuh. Apalagi aku sudah tidak sejaya dulu untuk memenuhi kebutuhan kita.
Aku harap ada seseorang yang bisa menggantikanku Nila. Dan yang aku harapkan adalah Arzan. Aku yakin Arzan adalah orang baik yang bisa menjaga kamu sekaligus anak kita Deonata. Lagi pula ini demi anak kita, Nata masih membutuhkan sosok seorang ayah setelah aku meninggal, dan aku juga tidak ingin Nata berlama-lama mengalami kesusahan yang kita rasakan.
Aku mohon, menikahlah dengan Arzan sahabatku. Setelah kamu menikah dengannya, aku yakin kehidupan yang kita jalani dulu kembali seperti semula.
Nata tak bisa berkata-kata setelah membaca surat yang dituliskan Ayahnya, tubuhnya masih terus membeku, perasaannya begitu campur aduk antara bingung dan tidak percaya akan semua ini.
"Jadi selama ini gue..." Lirih Nata sendiri yang tak lama mengeluarkan deraian air mata.
Nata menarik rambutnya kasar seperti orang yang frustasi, ia tak percaya akan semua ini.
"Apa maksud dari semua ini?" teriak Nata seraya memukul tembok kesal.
Pria itu segera menghapus air matanya kasar, dengan cepat ia pergi dari kamar tersebut untuk menuju rumah sakit. Saat dirinya membuka pintu rumah, tanpa disangka Raina sudah berada dihadapannya dengan raut wajah khawatir. Sejak tadi gadis itu menunggu Nata keluar dari rumahnya karena kekhawatiran tersebut.
"Raina?" panggil Nata dengan nada yang serak.
"Ada apa Nat, kamu..."
Belum Raina menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba tangan gadis itu langsung ditarik oleh Nata kedalam pelukannya. Pelukan Nata yang dalam seketika membuat Raina turut sedih layaknya tahu akan perasaan pria itu.
"Sekarang gue harus gimana Ra?" lirih Nata.
Raina terdiam, gadis itu masih menenangkan pria itu dengan mengelus-elus kepala belakang Nata lembut.
"Ada apa Nat? Maaf, tadi aku dengar keluarga kamu ribut, dan juga kamu bawa Tante Nila kerumah sakit."
Nata melepas pelukannya, lalu kembali menghapus air mata yang menetes di pipinya.
"Gue... Gue harus pergi sekarang," pamit Nata seraya mengambil tasnya yang tadi sempat ia taruh.
Raina mengangguk. Gadis itu tahu, saat ini perasaan Nata begitu kacau, jadi ia tak ingin memaksa Nata untuk menceritakan masalahnya sekarang.
Sebelum pergi, Nata sempat melirik ke arah Raina beberapa detik. Setelah itu ia pun masuk ke dalam taksi tanpa berbicara apapun lagi.
•••
Sesampainya di rumah sakit, dengan lemas Nata membuka pintu ruang rawat Ibunya. Tetapi tak disangka-sangka Nila sudah sadar secara penuh dan tersenyum lemah saat melihat anaknya datang.
Melihat itu, Nata hanya menanggapinya dengan wajah datar dan ingin terlihat sesantai mungkin.
"Gimana acara kemahnya? Seru?" tanya Nila dengan wajah pucat nya.
Nata hanya diam, ia pun langsung duduk di samping Nila, menatap Ibunya penuh tanda tanya.
"Apa yang Mama sembunyiin dari Nata?"
Pertanyaan spontan yang dilontarkan Nata membuat Nila bingung.
"Maksud kamu apa?" ujar Nila kembali bertanya.
Nata memutarkan bola matanya malas, sejak tadi ia menahan air matanya untuk tidak jatuh. Kedua kalinya ia pun kembali bertanya dengan raut wajah dingin dan serius.
"Apa yang Mama sembunyiin dari aku?"
Sejenak Nila berpikir, apa karena kejadian tadi, Nata menjadi seperti ini. Dengan lembut Nila menjawab,
"Kejadian tadi bukan karena apa-apa kok Nat, biasa, Mama cuma marah karena Papa datang kerumah nggak ada aturan."
Mendengar itu, Nata hanya tersenyum sinis.
"Udah berapa kali aku bilang, aku nggak sudi panggil dia Papa!!" tegas Nata penuh penekanan.
"Lagian aku bukan anak kecil lagi! Mama mau sampai kapan bohongin Nata!" lirih Nata yang sudah capek akan kehidupannya.
"Kamu kenapa sih Nat? datang-datang dari kemah jadi kayak gini," ucap Nila yang masih lemas penuh penekanan sedikit.
Nata menghembuskan napasnya kasar, muak dengan kebohongan-kebohongan yang Ibunya simpan.
"Harusnya Mama tanya diri sendiri, apa yang Mama perbuat sampai dampaknya kayak gini," marah Nata seraya menekankan apa yang terjadi kepada Nila saat ini, karena perbuatannya sendiri.
"Ma--maksudnya apa?" gagap Nila tidak mengerti.
Nata mengangguk singkat seraya tersenyum miring. Lalu dirinya pun mengeluarkan secarik surat dari sakunya untuk memperlihatkan kepada Nila apa yang ia temukan tadi.
"Bisa jelasin ini apa?"
To Be Continued
______________________________________
Dipastikan ini merupakan awal puncak konflik yang pasti akan seru di part selanjutnya...
Jangan lupa Untu dukung cerita ini dengan like dan komennya apabila kalian suka🥰
Sampai jumpa di next part👋
KAMU SEDANG MEMBACA
A Game of Fate [SELESAI]
Fiksi Remaja"Nata, makasih ya untuk semua memori indah yang kamu beri untuk aku. Sekarang aku izin pamit. Maaf aku nggak bisa menepati janji aku untuk kamu." "Kamu nggak boleh pergi ke mana-mana Ra!?" "Raina!?" Deonata Lio Bagaskara, laki-laki dengan penuh seju...