Chapter 20

3.5K 431 4
                                    

Bulan sudah menggantikan posisi Matahari. Bintang-bintang bertebaran, menemani sang Rembulan yang kesepian.

Di dalam kamarnya, Luca membalik lembar buku yang ia pegang. Kalian salah jika kalian mengira dia tengah membacanya. Faktanya, pemuda itu hanya membalik asal. Pikirannya melayang pada percakapan yang ia dengar sore tadi.

Aleth akan kembali besok dan tentunya Luca tidak senang dengan hal itu. Ayahnya sudah kembali ke perbatasan dan tanpa pria itu disini, Luca yakin bahwa wanita itu akan bertindak berani terhadapnya. Mengingat dia telah banyak membuat wanita itu kesal.

Dia tidak takut pada Aleth, hanya saja dia terlalu malas untuk melayani wanita itu bermain. Dirinya mempunyai hal yang lebih penting dari 'mengurus' wanita itu.

Dan itu tentu saja, adalah sihirnya. Dia ingin segera mempelajari hal-hal mengenai tekanan energi. Dia tidak ingin kejadian dimana dirinya tumbang dengan satu pukulan terulang lagi.

Dan untuk itu dia harus menemui Sang Penyihir Kayu yang dikatakan berada di Ibukota. Sempat terpikir oleh Luca saat Lia memberitahunya informasi ini, untuk pergi bergegas menemui Sang Penyihir. Itu hanya dorongan sesaat. Tapi setelah mengetahui bahwa Aleth akan kembali besok, dorongan untuk pergi ke Ibukota menjadi semakin jelas.

Daripada berurusan dengan wanita itu yang bahkan tidak menghasilkan apapun, Luca lebih memilih untuk pergi ke Ibukota dan mencari sang penyihir.

Buku yang sedari tadi Luca pegang kini ditutup dengan bunyi 'buk' yang cukup keras. Mata berwarna cokelatnya bersinar kala dirinya sudah mengambil keputusan.

***

Dan hasil dari keputusan ini, membuat Lia menjadi panik saat pagi hari tiba.

Pasalnya dia tidak menemukan Tuan muda dimana-mana. Bahkan dia sampai mencari ulang dua kali di kediaman, sebelum akhirnya kembali ke kamar sang Tuan muda. Berharap pemuda itu sudah ada di kamarnya, namun harapan itu segera retak saat dia membuka pintu. Sepi dan hening.

Sekarang, dia sudah sangat panik. Semua pikiran berkecamuk, skenario mengenai Tuan mudanya diculik dan mungkin disiksa membuat gadis itu kesulitan bernafas.

Dia hampir saja mengirimkan surat kepada sang Marquess bahwa sang Tuan muda hilang, jika saja ia tidak melihat secarik kertas di atas nakas.

Lia menenangkan pikirannya, saat dia secara perlahan mengambil secarik kertas itu. Itu adalah tulisan tangan sang Tuan muda. Dengan hati-hati ia membaca tulisan itu, seiring ia membacanya hatinya menjadi sedikit tenang. Tapi tetap saja, kekhawatiran masih ada.

Tuan mudanya pergi ke ibukota sendirian, tanpa ditemani siapapun. Bukannya dia meremehkan kemampuan sang Tuan muda, hanya saja dia takut sesuatu yang buruk akan terjadi. Tapi tetap saja, dia tidak bisa menentang keputusan Tuan mudanya dan juga perintah darinya.

"Tenang saja Tuan muda. Saya akan melakukan apa yang anda perintahkan." Lia meremas kertas itu dengan tekad.

***

Sedangkan yang tengah dikhawatirkan, sekarang tengah berada di salah satu kedai teh. Memakan roti untuk mengisi perutnya yang lapar.

Luca tidak sebodoh itu untuk meninggalkan kediaman tanpa membawa uang. Pemuda dengan mata cokelat itu, membawa dua kantung uang di balik jubahnya. Yup, dia mengenakan jubah untuk menyembunyikan identitasnya yang adalah anak sang Marquess.

Tapi sepertinya hal diatas sia-sia. Karena lihat saja, Luca tidak mengenakan tudung jubahnya dan orang lain tidak heboh saat melihat wajahnya. Tidak seperti yang ia pikirkan, faktanya tidak banyak masyarakat umum yang mengetahui rupa anak sang Marquess. Luca terlalu melebih-lebihkan.

[BL] Back To Medieval TimesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang