17. Merelakan, Ikhlas, dan Pasrah

291 24 0
                                    

Beberapa hari setelah adanya pertemuan antara keluarga Jiraga dan Yerin, setiap harinya Raga selalu berusaha membujuk anak sulungnya agar menerima dengan baik perjodohan yang sudah direncanakan.

Mungkin ini puncaknya, mau tak mau Raga harus menjelaskan tujuan utama ia menjodohkan Jiraga dengan anak dari sahabat baiknya.

"Jiraga, sebenarnya ayah punya penyakit ginjal kronis."

"Ayah..." Badan Jiraga rasanya membeku saat mendengar ucapan sang ayah.

Pria itu tahu bahwa penyakit tersebut dapat mengancam nyawa dan menyebabkan kematian.

Penyakit Ginjal Kronis adalah kondisi saat fungsi ginjal mulai menurun secara bertahap. Penyakit Ginjal Kronis disebut juga sebagai kerusakan ginjal dapat berupa kelainan jaringan, komposisi darah, dan urine atau tes pencitraan ginjal, yang dialami lebih dari tiga bulan.

"Ayah rasa, semakin hari penyakitnya semakin parah." Keluh Raga.

"Mungkin waktu ayah udah gak—"

"Ayah!" Sela Jiraga terkesan membentak karena tak ingin mendengar lanjutan ucapan Raga yang sudah ia ketahui.

"Kalau nanti kamu nikah sama Yerin, masa depan kamu terjamin karena ayahnya Yerin udah janji setelah kamu lulus SMA, dia akan kasih biaya kuliah jurusan kedokteran sampai lulus dan jadi dokter."

"Walaupun ayah punya warisan, itu pasti akan ada waktunya habis. Apalagi kuliah jurusan kedokteran itu biayanya besar."

"Jiraga gak usah kuliah aja." Ucap Jiraga pasrah tanpa memikirkan bagaimana kedepannya.

Raga menghela nafas lelah, "Mau kerja apa? Lagian ayah mau semua anak ayah dapat gelar."

"Kalau suatu hari nanti kamu udah jadi dokter dan sukses, kamu bisa menghidupi Yerin sekaligus bunda dan adik-adik kamu, kan?"

Ucapan Raga membuat Jiraga langsung berpikir karena ucapan ayahnya memang benar.

"Maaf Jiraga, ayah selalu egois." Ucap ayah dari tiga anak itu sembari mengelus surai putranya.

Jiraga menggeleng, "Ayah gak salah."

"Jiraga, ayah tau peran anak pertama itu berat. Kamu dewasa diluar tapi rapuh di dalam."

Pria paruh baya itu menghela nafas sejenak sebelum kembali melanjutkan ucapannya, "Bahkan ayah tau kamu suka kasih kata-kata penenang buat banyak orang, tapi perasaan kamu sendiri selalu gelisah."

"Dari kecil, kamu selalu dipaksa dewasa oleh keadaan. Harus selalu bisa paham kondisi baik dan buruknya keluarga."

Raga tersenyum miris saat mengingat anaknya dulu saat berumur sembilan tahun pernah begitu terpuruk karena hubungan orang tuanya dalam diambang perceraian dikarenakan sempat ada kesalahpahaman.

"Dan sekarang, lagi-lagi kamu harus paham keadaan."

"Jiraga ngerti, ayah tenang aja. Nanti Jiraga pikir-pikir lagi soal perjodohan itu." Ucap Jiraga pada akhirnya.

"Makasih udah selalu paham sama keadaan." Ucap Raga sembari tersenyum lega.

***

Rumah Jean sering dijadikan tempat berkumpulnya dia dengan para sahabat, dan saat ini obrolan mereka sedang tertuju pada Magara.

"Menurut kalian kalau Magara udah gak sekolah di sekolah kita, gue bisa ambil posisinya sebagai murid cerdas gak sih?" Tanya Jean pada Rain, Carel dan Niel.

"Ya pasti bisa lah, otak lo kan pinter." Sahut Niel.

"Tapi dibanding Magara masih pinter dia." Cicit Carel.

Magara and LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang