"Gak ada jatah makan dua hari, dan gak ada uang jajan selama satu bulan."
Seorang remaja yang masih mengenakan setelan seragam berwarna putih dan abu nya membelalakkan mata tak percaya kala mendengar keputusan dari seorang pria paruh baya yang merupakan ayah kandungnya sendiri.
Magara Faidzka Alighar, namanya. Seseorang yang baru mendapatkan sebuah hukuman dari suatu kesalahan yang tak ia perbuat sama sekali. Namun, mau ia menjelaskan hingga mulutnya berbusa pun ayahnya tak akan percaya bahwa ia saat tadi di sekolah tak mengunci adik bungsunya di gudang.
"T-tapi, bukan Gara yang kunci Hariga di gudang sekolah. Gara lihat sendiri pake mata kepala Gara kalau Hariga sendiri yang nyuruh temennya buat kunci dia dan bikin rencana seolah-olah Gara yang kunci dia." Untuk terakhir kalinya, Magara membela diri sendiri.
"Oke fine, karena masih berani bohong, gak ada jatah makan sampai tiga hari!"
"Gara gak bohong, Hariga yang bohong!"
Plak!
Satu tamparan berhasil mengenai pipi wajah berwarna putih yang dihiasi banyak lebam dan bekas luka itu.
"Yang sopan kalau bicara sama orang tua!" Tegas Raga dengan tatapan tajamnya.
Raga memang seorang ayah yang bisa dibilang lumayan ringan tangan pada putranya sendiri, namun tak dapat dipungkiri bahwa ia hanya bermain kasar pada anak keduanya, Magara. Tidak pada si sulung dan bungsu.
"Maaf..." Lirih Magara, setelah mendapat tamparan itu ia mulai menunduk.
"Jangan jadikan adik kamu sendiri sebagai objek perundungan, seharusnya kamu ngerti kalau Hariga itu punya fisik yang lemah, jantungnya gak berfungsi dengan baik. Kamu mau dia mati muda?!"
Sedangkan yang disebut korban itu berada tak jauh dari sana dengan seringai yang terlihat jelas di bibirnya. Hariga adik dari Magara itu merasa senang karena rencananya untuk menjebak sang kakak telah berhasil.
"Umur gak ada yang tau, ayah. Gimana kalau misalnya Gara yang pergi duluan?" Magara bertanya sembari menatap dalam manik sang ayah.
"Bagus kalau gitu, ayah sama bunda bakal bersyukur banget karena gak punya beban lagi."
Hariga semakin tersenyum senang mendengar jawaban yang keluar dari bibir sang ayah, dan hal itu pasti sangat menusuk hati Magara.
Tak lama kemudian Raga melenggang pergi meninggalkan Magara yang tengah menunduk sembari menahan air yang hampir keluar dari matanya.
"Gimana rasanya? Kasihan." Ucap Hariga yang baru datang kehadapan Magara dengan nada mengejek.
Magara tak peduli dengan apa yang diucapkan adiknya, ia memilih untuk meninggalkan Hariga dan masuk ke dalam kamarnya.
"Berani banget dia cuekin gue." Batin Hariga kesal.
***
Siang hari pada waktu istirahat sekolah ini sungguh terasa sangat lelah bagi Magara, dia juga merasa lapar karena perutnya belum diisi oleh apapun sedari kemarin sore.
Namun, segala rasa yang ada itu melebur seketika saat maniknya menangkap jelas seorang gadis yang mendatanginya.
"Yerin!" Pekik Magara kegirangan, ia langsung berdiri dari kursi duduknya.
"Apa?!" Ketus wanita yang dipanggil dengan sebutan Yerin tersebut.
Magara menggeleng, "Enggak ada apa-apa, cuman kangen aja."

KAMU SEDANG MEMBACA
Magara and Love
FanficSejatinya, seorang Magara hanya ingin tahu bagaimana rasanya dicintai, bukan sekadar mencintai. Terkadang, lelaki itu merasa muak memberikan perhatian, rasa cinta, dan kasih sayang kepada orang-orang terdekatnya, sementara mereka seolah tak pernah m...