Seorang pria turun dari motor miliknya dengan raut wajah kesal. Magara, pemuda itu sangat malas untuk berbicara sepatah ataupun lebih pada empat pemuda yang menghalangi jalan raya sepi yang harus ia lewati untuk sampai ke rumah.
"Apaan kalian? Gara— eh gue bilang, gue gak mau ribut-ribut gak jelas!" Ucapnya.
"Sebentar aja, biar kita ada kerjaan." Jean menyahut, mendekati Magara bersama ketiga temannya.
Magara menghela nafas panjang, "Gue banyak kerjaan, bahkan gue belum cuci piring karena tadi pagi kesiangan."
"Gue makin yakin kalau lo itu anak pungut. Dan yang gila itu bukan ayah lo aja, tapi ibu lo juga. Gue tau orang tua lo itu kaya raya, tapi kenapa coba mereka gak sewa pembantu buat bersih-bersih rumah? Tapi mereka malah nyuruh anak cowoknya buat dijadiin pembantu."
"Gue diem disaat lo bilang ayah gue gila, tapi gue gak terima disaat orang yang ngelahirin gue disebut gila!" Pekik Magara tak terima.
"Lo sayang banget sama mereka, sedangkan mereka mau lo mati."
"Jean, gue nyesel pernah mau sahabatan sama lo. Sekarang lo so tau tentang kehidupan gue hanya karena lo pernah sebentar jadi rumah gue." Lirih Magara, terselip nada kecewa pada perkataan yang diucapkannya.
"Gue juga nyesel pernah kenal sama manusia yang suka bersaing kaya lo."
"Kalau lo nyesel pernah kenal sama gue, gue lebih nyesel karena pernah jadiin kandang babi sebagai rumah."
"Jadi maksud lo gue babi?"
"Tumben pinter. Seharusnya juga lo dewasa dikit, punya temen baru malah jauhin gue dan parahnya temen-temen lo itu pada sesat."
Bugh!
"Gue gak pernah pengaruhin Jean!" Ucap lantang Niel setelah melayangkan pukulan di wajah Magara hingga sudut bibirnya sedikit berdarah.
Magara terkekeh melihat tatapan Niel yang dipenuhi amarah itu, ia rasa Niel bukanlah tandingannya karena mudah sekali tersulut emosi bak anak kecil.
"Magara itu mau bersaing ranking sama lo, Je. Mending lo jauhin dia biar bisa leluasa buat tetap jadi juara tanpa ada rasa gak enak ke dia." Ucap Magara persis seperti yang dulu pernah dikatakan oleh Niel pada Jean yang kebetulan tak sengaja ia dengar.
Magara menunjuk diri Jean, "Dan lo Je, kalau lo mau selalu jadi ranking satu, gue gak masalah. Bahkan gue bisa ngalah demi lo, gue tau orang tua lo itu keras dalam nuntut nilai. Sedangkan, orang tua gue gak peduli berapapun ranking gue."
"Tapi nyatanya lo terus berhasil jadi juara kelas tanpa mau ngalah sama gue!"
"Gue gak tau, Je. Padahal gue gak berniat sama sekali. Kalau lo mau jadi pinter, makannya belajar. Bukan singkirkin ataupun ngejauhin orang-orang yang jauh lebih pinter daripada lo."
Tangan Jean sudah terkepal kuat dan hendak memukul Magara, namun berhasil dihentikan karena ada seseorang yang mencengkram tangannya itu dengan kuat.
"Lo mau pukul Gara? Udah cukup dia dapet itu dari temen lo, jangan lagi."
Jiraga, pria itu menatap Jean dan Niel bergantian dengan tajam, kemudian menghempaskan tangan Jean yang masih ia pegang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Magara and Love
Hayran KurguSejatinya, seorang Magara hanya ingin tahu bagaimana rasanya dicintai, bukan sekadar mencintai. Terkadang, lelaki itu merasa muak memberikan perhatian, rasa cinta, dan kasih sayang kepada orang-orang terdekatnya, sementara mereka seolah tak pernah m...