19. Rela tak Rela

188 15 2
                                    

Langit jingga perlahan memancarkan keindahannya. Kicauan burung-burung seolah-olah memberi isyarat bahwa malam akan segera hadir.

Pohon-pohon yang terlihat seperti siluet dalam lukisan, menambah kesan hangat untuk menyambut gelapnya malam hari. Bulan pun perlahan datang menggantikan cahaya matahari.

Malam ini Magara tampak tengah menikmati hilir angin lewat jendela kamarnya yang masih terbuka. Ia lagi dan lagi menghela nafas sembari memikirkan bagaimana cara membayar uang sekolah, enggan rasanya untuk rela putus sekolah.

Magara masih tahu malu untuk tidak meminta biaya itu kepada kedua orang tuanya, diijinkan tinggal di rumah lagi saja sudah lebih dari cukup baginya.

"Buat bayar sekolah."

"Anj—" Magara sangat terkejut hingga hampir tak sengaja berkata kasar saat tiba-tiba ada yang berbicara setelah menyimpan beberapa lembaran ratusan ribu di meja belajarnya.

"Apa kamu bilang?!" Raga tampak kesal saat mendengar ucapan kasar hampir terlontar dari bibir anaknya.

"Maaf ayah, Gara gak sengaja!" Ucap panik Magara.

"Terserah. Jangan lupa besok bayar uang sekolah kamu." Ucap Raga sembari beranjak keluar dari kamar.

"Makasih ayah!" Ucap Magara senang.

Selang beberapa menit setelah Raga keluar, Magara mendengar pintu kamarnya dibuka lagi oleh seseorang.

"Siapa?" Tanya Magara.

"Jiraga." Jawab si pemilik nama tersebut.

Magara tersenyum saat melihat kakaknya yang datang, "Eh abang sini-sini duduk di kasur."

Jiraga mengangguk dan menuruti apa yang diucapkan oleh sang adik.

Bibir Jiraga saat ini rasanya sulit sekali untuk dibuka dan mengucapkan sesuatu kepada Magara.

"Ada yang mau abang obrolin?" Tanya Magara saat melihat raut wajah Jiraga yang tampak seperti orang kebingungan.

"Besok keluarga Yerin mau makan malem bareng di rumah ini..."

"Ya bagus dong, biar hubungan keluarga kita sama Yerin makin deket." Ucap Magara.

"Tapi tadi ayah udah nyuruh gue kalo besok harus duduk disebelah Yerin, lo gapapa?"

Magara langsung merasa hatinya seperti tergores oleh benda tajam saat mendengar ucapan Jiraga.

Namun sebisa mungkin dia harus terlihat biasa saja, "Ya jelas gak masalah, santai aja."

"Syukur kalo lo gapapa. Udah ya gue mau tidur, sekarang gue ngerasa tenang karena udah ngomong dulu sama lo."

"Oke tidur yang nyenyak ya, bang." Ucap Magara sembari tersenyum.

Jiraga tersenyum dan mengangguk sebelum pergi keluar dari kamar adiknya itu.

"Baru aja seneng dikasih uang buat bayar sekolah, eh sekarang malah nyesek." Ucap Magara dalam hati sembari tersenyum miris.

Selalu saja seperti ini, entah kenapa setiap ia merasa bahagia pasti tak berselang lama akan merasa sedih. Magara tak pernah merasa bahagia seutuhnya.

Magara and LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang