Keesokan harinya, langit tampak kelabu saat Magara terbaring di rumah sakit, dikelilingi suara bip mesin dan aroma antiseptik yang menyengat.
Setelah peristiwa kemarin yang mengguncang, ia merasa lemah dan bingung. Dalam benaknya, segala sesuatu terasa tidak nyata. Ia teringat detik-detik ketika kerumunan itu mengamuk, dan rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya.
Petugas medis telah merawatnya, lukanya tidak terlalu parah, hanya sebuah lebam-lebam yang seharusnya bisa sembuh dalam waktu singkat, namun ada sesuatu yang lebih dalam, lebih sulit lagi untuk disembuhkan yang terjadi kemarin malam.
Malam itu Magara masuk ke dalam toilet dirumah sakit, dia ingin memasuh wajahnya agar lebih segar namun kepalanya berputar, matanya berkunang- kunang, dan tubuhnya seolah kehilangan keseimbangan.
Magara berusaha meraih dinding untuk menahan tubuhnya, tetapi semuanya terasa begitu cepat. Kakinya terpelintir, dan tubuhnya terjatuh ke lantai dengan keras.
Punggungnya menghantam ubin kamar mandi yang licin, lalu kepala belakangnya membentur keras lantai
Sebuah rasa sakit yang tajam menjalar di seluruh tubuhnya, dan darah mulai merembes keluar dari kepalanya. Magara mencoba untuk bergerak, namun tubuhnya terasa terlalu berat, tak mampu untuk bangkit.
Rasa pusing semakin memburuk, dan pandangannya mulai kabur. la merasakan darah mengalir perlahan dari kepalanya, menetes di ubin dingin yang kini berlumuran darah.
Di luar kamar, suasana di ruang rumah sakit tidak banyak berubah. Orang tua, kakak dan adik Magara duduk di kursi tunggu.
Namun, tiba-tiba langkah-langkah terburu-buru terdengar di koridor. Seorang perawat berlari menuju ruang mereka, wajahnya pucat dan penuh kecemasan.
"Maaf, Tuan dan Nyonya, Magara... Magara mengalami kecelakaan," ujar perawat itu, napasnya terengah-engah.
"Kami baru saja menemukannya di lantai kamar mandi, pingsan, dengan luka di kepala. Kami sudah melakukan pertolongan pertama, tapi kondisinya sangat kritis. Kami butuh izin untuk segera melakukan tindakan medis."
Irena seolah disambar petir. Tanpa pikir panjang, ia berdiri dan berlari mengikuti perawat tersebut. Raga mengejar dari belakang, tubuhnya terhuyung karena panik.
Jiraga dan Hariga yang melihat ayah dan ibunya berlari menuju ruang rumah sakit ikut tergopoh-gopoh, takut ada yang lebih buruk menimpa si empu.
Begitu sampai di ruang perawatan, Irena menatap tubuh Magara yang terbaring lemah di atas ranjang. Wajah anaknya tampak pucat, matanya terpejam, dan seluruh tubuhnya dipenuhi peralatan medis yang mendengung, memberikan gambaran betapa seriusnya keadaan Magara.
Irena mendekat, menggenggam tangan Magara yang dingin. "Gara..." katanya dengan suara tertahan. Namun, tidak ada jawaban.
Raga berdiri di samping Irena, mencoba menahan air matanya. "Apa yang terjadi?" katanya, suara seraknya penuh kecemasan.
Dokter yang hadir menjelaskan, dengan nada yang serius dan penuh kehati-hatian, "Magara mengalami benturan keras di kepala. Luka-luka fisiknya bukan yang paling berat, tapi cedera kepala yang dia alami sangat parah."
Kata-kata itu datang seperti petir yang menyambar, menghanguskan harapan mereka satu per satu. Irena hampir tak bisa menahan diri, tubuhnya menggigil, dan tangisannya pecah, lebih keras dari sebelumnya. Raga berusaha menenangkan, meskipun hatinya sendiri hancur.
"Kenapa harus Gara?" isak Irena, suaranya terputus-putus.
Perawat di ruangan itu berusaha memberikan ruang bagi keluarga untuk berada di sisi Magara, namun setiap detik terasa semakin berat. Mereka berusaha mengumpulkan kekuatan, meski tubuh mereka terasa rapuh, seperti terpecah berkeping-keping.
"Tolong siapkan diri masing-masing, sekarang kita semua cuman bisa ikhlas." Ucapan dokter itu seolah pisau tajam yang menusuk sempurna dihati mereka.
Beberapa jam kemudian, Magara menghembuskan napas terakhirnya. Kepergiannya terasa begitu cepat dan tak terduga, membuat Irena dan Raga merasa seperti ada bagian dari diri mereka yang ikut terkubur bersamanya.
Keesokan harinya, keluarga itu mempersiapkan pemakaman Magara. Di sepanjang perjalanan, mereka tak bisa menahan perasaan kehilangan yang begitu dalam. Jiraga dan Hariga, meski mencoba tampil kuat, tak bisa menyembunyikan rasa sakit yang sama.
Di pemakaman, saat jenazah Magara mulai diturunkan ke dalam liang kubur, Irena jatuh berlutut, menangis sejadi-jadinya.
"Maaf, bunda gak bisa jaga anak bunda sendiri!" Tangisnya menggema, seakan ingin memanggil kembali anaknya yang telah pergi terlalu cepat.
Raga berdiri di samping, hanya memandang kosong jenazah sang putra sembari mengusap lembut punggung istrinya yang bergetar.
Hariga tampak memeluk Jiraga yang sedang berdiri di sebelah Yerin dan teman sekolah Magara, yaitu Jeno.
Jeno merasa kehilangan dan menyesal karena baru dekat lagi dengan Magara akhir-akhir ini dan ia malah ditinggalkan begitu saja.
Sedangkan Yerin sudah menangis sesenggukkan sedari tadi, dia menutup mulutnya masih tak menyangka, orang yang pernah singgah dihatinya kini sudah pulang pada sang Maha Kuasa.
Si sulung tampak seperti yang paling terpukul, dia merasa paling bersalah karena sudah sempat-sempatnya memukul dan menuduh adiknya.
"Gue bodoh." Ucap Jiraga dalam hati.
Sekarang Jiraga sudah tahu kebenarannya, bahwa Magara hanya tak sengaja terjerumus dalam perkelahian itu, dan para siswa yang memberikan kekerasan itu sudah mendapatkan hukuman.
Perasaan mereka semua saat ini sangat sulit dijelaskan, rasanya campur aduk. Rasa sedih dan kehilangan terasa membunuh mereka secara perlahan.
Magara pergi meninggalkan banyak luka, dan dia juga pergi dengan seribu luka. Kini kisah hidupnya sudah berakhir.

KAMU SEDANG MEMBACA
Magara and Love
FanfictionSejatinya, seorang Magara hanya ingin tahu bagaimana rasanya dicintai, bukan sekadar mencintai. Terkadang, lelaki itu merasa muak memberikan perhatian, rasa cinta, dan kasih sayang kepada orang-orang terdekatnya, sementara mereka seolah tak pernah m...