BAB 26

977 51 3
                                    

Kami semua tiba di rumah ibu sekitar pukul 11 malam mengingat sempat terjadi kemacetan parah setelah melewati daerah Ciwidey.

Pagi ini aku sedang menemani ibu berbelanja ke pasar bersama A'Muda. Ibu berencana akan memasak makanan kesukaan kami serta membawanya sebagai bekal untuk acara piknik siang nanti. Kami memang berencana akan pergi ke sebuah curug di dekat sini, menikmati sejuknya udara pengunungan serta segarnya air terjun.

Ibu sudah aku anggap sebagai ibuku sendiri begitu pun dengan Mbak Maura. Kedekatan kami dengan A'Muda membuat kami juga menjadi dekat dengan ibu terlebih beliau memang orang yang sangat baik dan telah menganggap kami berdua sebagai putri kandungnya selama ini.

Sejujurnya aku merasa tidak tega sekaligus kasihan dengan ibu. Beliau kerap kali menanyakan kepadaku mengenai siapa wanita yang tengah dekat atau menjalin hubungan dengan A'Muda. Aku tahu jika dirinya pasti merasa khawatir karena putra semata wayangnya belum juga memiliki pasangan bahkan di usianya yang sematang ini. Apa yang kurang dari anak ibu? Selalu hal itu yang menjadi pertanyaan ibu setiap kali kami membicarakan tentang A'Muda dan akan selalu berakhir dengan permintaan beliau agar aku mau menikah dengan putranya tersebut. Sayang kami berdua tidak bisa. Aku yang tidak mempercayai cinta dan A'Muda yang tidak pernah mencintai wanita.

"Mau beli apalagi bu?" tanya A'Muda dengan tangan penuh kantung belanjaan.

"Sudah semua nak. Lebih baik kita pulang saja sekarang. Kalian berdua pasti kelelahan karena harus menemani Ibu ke pasar pagi-pagi sekali. Ibu kan tadi sudah bilang kalau Ibu tidak apa-apa jika pergi ke pasar sendirian, sudah biasa. Tetapi akan beda cerita kalau Ibu punya menantu karena jika ada maka setiap hari dia bisa menemani Ibu seperti Vita saat ini. Iya kan?"

"Bu, mulai deh. Lagian kan sudah ada bibik di rumah. Kalau Ibu mau ditemani ke pasar, ya tinggal minta saja dia untuk ikut."

"Beda Muda. Kamu selalu saja tidak mau mendengarkan dan memahami ibu tentang hal ini. Kalian berdua sama saja." ibu kemudian meninggalkanku dan A'Muda sehingga kami pun hanya bisa saling berpandangan satu sama lain dan setelahnya segera menyusul ibu yang saat ini tengah dalam mode merajuk mengenai keinginanya untuk segera memiliki seorang menantu.

Ketika kami bertiga telah sampai di rumah, Mbak Maura dan Mas Bram terlihat sudah bangun dan tengah mengobrol di teras depan. Keduanya yang melihat kepulangan kami pun segera menghampiri dan membantu membawakan barang-barang belanjaan yang memang cukup banyak.

"Kok kalian berdua enggak ngajak gw sih?"

"Elo tadi masih tidur dan kita enggak mungkin bangunin kan? Oh iya mbak, yang lain sudah pada bangun?"

"Rega sama Darren lagi lari pagi sementara si kembar lagi dimandiin sama susternya. Gw sudah bikin sarapan dan dari tadi nungguin kalian semua biar bisa sarapan bareng."

"Yasudah kalau begitu gw mau mandi dulu deh. Soalnya pagi tadi cuman sempat cuci muka doang."

"Buruan sana biar kita bisa sarapan bareng-bareng. Darren sama Rega kayanya sebentar lagi juga bakalan pulang. Soalnya mereka perginya juga sudah lumayan lama."

"Oke deh."

Selesai mandi, aku pun segera menuju meja makan namun sayangnya belum ada siapapun disana. Sepertinya Darren dan Rega masih belum pulang sementara yang lainnya sedang mandi atau mungkin masih mengobrol. Aku pun memutuskan untuk menyusul A'Muda di taman belakang sekaligus ingin memberikan makan ikan-ikan peliharaan Ibu yang berada disana.

"Yang lain pada kemana A'?"

"Kenapa? Elo sudah lapar?"

"Iya."

"Masih mandi atau ngobrol kali. Lagian Darren sama Rega juga belum balik sih."

"Mereka berdua enggak mungkin kesasar kan ya A'? Lari kemana sih memangnya? Kenapa lama banget baliknya?"

"Palingan juga sekitaran sini. Kenapa? Elo cemas kalau pacar elo hilang?"

"Hahahaha, lucu sekali lo A.'" sarkasku

"Memang. Baru tahu Anda?" jawabnya sambil memasang wajah yang terlihat sangat menyebalkan untukku.

"Garing lo!"

"Wah, bawahan macam apa kamu? Bisa-bisanya bicara tidak sopan dengan atasan seperti tadi."

"Oh, sekarang mau bawa status nih, oke. Dasar atasan nyebelin." dan setelahnya kami berdua pun terus saja tertawa dengan candaan aneh dan garing ini.

"Ehem!"

Suara deheman seseorang mengangetkan kami seketika dan saat kami berdua melihat ke arah sumber suara di belakang, Darren dan Rega lah yang berada di sana.

***

"Masih cemburu lo?" tanya Rega saat kami tengah beristirahat selepas lari pagi. Entah mengapa pagi ini kami berdua sama-sama terbangun dan memutuskan untuk berolahraga terlebih cuaca dan pemandangannya juga sangat mendukung.

"Enggak."

"Enggak lagi cemburu atau enggak lagi mau ngebahas?" tanyanya yang masih saja suka ikut campur dengan urusan orang lain.

"Jawab Bian. Gw kan lagi nanya sama elo."

Aku menatap wajahnya yang sejak tadi terus saja menatapku dengan sorot mata penasaran. Jika sudah seperti ini maka akan sangat sulit bagiku jika belum memberikan jawaban apapun kepadanya. Rega akan selalu mengangguku sampai akhirnya dia mendapatkan apa yang dia inginkan dan dengarkan.

"Cemburu itu bagaimana?"

"Lo lagi nanya sama gw soal ciri-ciri orang cemburu?"

"Iya."

"Yah, kaya elo. Maksud gw kaya sikap elo dari kemarin itu. Uring-uringan enggak jelas, marah enggak jelas, kesel enggak jelas. Meski selama ini memang elo orangnya enggak jelas tetapi kemarin itu beda, beda banget. Dan kalau gw tebak sih pasti karena Vita, iya kan? Ngaku lo."

"Ngaco."

"Beneran. Memangnya elo enggak sadar apa sama sikap elo ke Vita dari kemarin? Parahnya lagi elo ngediamin dia sampai sebegitunya. Asal elo tahu ya Bian, kemarin tuh di dalam mobil sebenarnya gw cuman pura-pura tidur saja. Yah, meski akhirnya jadi tidur beneran sih tetapi pas gw lagi mode tidur bohongan gw lihat dengan sangat jelas bagaimana elo ngediemin Vita sampai dia juga akhirnya ngediamin elo kan?"

"Entahlah."

"Ingat kata-kata gw kemarin Bi. Kalau elo enggak kasih tahu ke Vita soal perasaan dan pikiran elo selama ini tentang dia, maka bagaimana dia bakalan tahu dan memahami elo? Jangan sampai elo menyesal Bian karena kalau begitu..." Rega belum selesai dengan kalimatnya namun aku sudah memotong ucapannya.

"Kamu mau merebut dia?"

"Cie... beneran cemburu nih bocah. Gila, elo kalau cemburu serem banget Bi hahahaha." Rega terus saja meledekku hingga akhirnya kami berdua memutuskan untuk kembali ke rumah nenek (panggilan yang aku tujukan kepada ibu Om Muda).

Rumah tampak sepi saat kami berdua pulang. Tadi pagi Mami Maura bilang jika nenek, Tante Vita, dan Om Muda sepertinya sedang pergi keluar saat kami tidak menemukan mobil Om Muda di halaman depan.

Apa mereka belum pulang ya?

Lagi-lagi mendapati fakta mengenai kedekatan keduanya membuatku menjadi marah terlebih ketika aku mengingat pembicaraan mami dan kedua sahabatnya beberapa waktu lalu soal keinginan nenek yang ingin menjadikan Tante Vita sebagai menantunya.

Apa benar aku sedang cemburu? Tetapi mengapa? Maksudku apa aku telah jatuh cinta dengannya? Rasanya tidak mungkin. Tante Vita memang menarik dan aku akui itu. Namun dia bukanlah wanita yang menurutku layak untuk dijadikan pasangan hidup apalagi aku yang sudah mem-blacklist dirinya sejak pertemuan pertama kami kembali di bandara dahulu. Bahkan jika aku menyukainya, sejak kapan perasaan ini tumbuh? Dan bagaimana bisa?

Aku terus saja sibuk dengan pikiranku sendiri sejak tadi hingga saat kami berdua berjalan menuju ke taman belakang untuk bersantai, lagi-lagi aku harus kembali melihat bagaimana kedekatan antara Tante Vita dan Om Muda yang saat ini tengah tertawa bersama dan terlihat bahagia.

Tanpa sadar aku pun mengepalkan kedua tanganku erat dan menatap keduanya dengan tatapan marah sekaligus kesal. Rega yang sepertinya menyadari perubahan sikapku ini tiba-tiba saja berdeham dan membuat kedua orang di depan sana menengok ke arah kami.

"Ehem!"

Tante, I Love You (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang