BAB 22

992 50 3
                                    

"Tante suka Kevin kan?"

Aku terus menatap pria di hadapanku ini sambil mencari tahu makna dari pertanyaan bodohnya itu namun semakin aku menatapnya, aku justru semakin dibuat bingung. Darren dan wajah datarnya benar-benar tidak pernah terbaca olehku sehingga aku tidak bisa memahami pria ini dengan segala ucapan dan jalan pikirannya.

"Maksudnya apa?"

"Iya? Atau Tidak?"

"Kenapa elo bertanya seperti itu ke gw?"

"Hanya bertanya."

"Iya, tetapi kenapa?" desakku. Sungguh aku telah dibuat gemas sekaligus kesal olehnya saat ini.

"Jawab saja."

"Gw kan harus tahu alasan elo dahulu baru setelahnya bisa gw jawab."

"Hanya merasa demikian."

"Maksudnya?"

"Sudahlah. Lupakan."

Setelahnya Darren pun segera membalikkan tubuhnya dan berjalan menjauh dari posisiku saat ini. Pria ini pergi begitu saja setelah menanyakan sesuatu yang membuatku bingung. Aku terus saja menatap punggungnya yang semakin lama semakin menjauh dengan berjuta pertanyaan yang saat ini telah bermunculan di dalam kepalaku.

Pertanyaannya aneh. Sikapnya juga aneh. Dan dia... sangat aneh.

Setibanya di rumah aku langsung menenggelamkan diri dalam kesunyian dan kegelapan. Aku tidak menyalakan lampu dan hanya memilih duduk di ruang tamu yang berkondisikan gelap gulita. Aku mengedarkan pandangan sesaat dan setelahnya aku justru menangis. Aku kesepian.

Aku menyukai hidupku, menyukai kesendirianku namun sebagai manusia biasa terkadang aku juga membencinya. Membenci fakta jika aku benar-benar sendirian di dunia ini, tanpa siapa pun. Membenci fakta di saat aku pulang ke rumah namun tidak ada yang menyambutku dan aku juga membenci fakta jika aku ternyata terkadang merindukan sebuah kehangatan.... keluarga.

Aku kembali mengingat kejadian di restoran tadi. Entah mengapa mengingat hal tersebut membuat dadaku menjadi sakit dan sesak. Aku marah bercampur iri. Aku marah kepada diriku sendiri dan aku iri kepada Sarah.

Sekuat apa pun aku, nyatanya aku memang wanita lemah yang begitu sensitif terlebih jika menyangkut keluarga, sesuatu yang dahulu begitu berharga bagiku dan hidupku. Selama ini aku hanya berpura-pura kuat dan membangun tembok tinggi dengan semua orang adalah pilihanku. Aku tidak ingin disakiti serta berharap kepada siapa pun. Aku merindukan sebuah keluarga namun tidak berniat membangunnya. Tidak, karena dia telah menghancurkan makna keluarga yang selama ini aku impikan.

Aku terus saja menangis dalam diam. Membiarkan diriku larut dalam kesedihan yang entah mengapa seperti telah menjadi bagian hidupku selama lebih dari 10 tahun terakhir. Sungguh aku membenci diriku yang seperti ini namun aku tidak kuasa lagi untuk menahannya. Setidaknya biarkan aku menangis sendiri dalam kegelapan yang menyertai.

Setelah merasa sedikit tenang, aku pun memutuskan untuk segera membersihkan diri. Aku butuh mandi dan mengguyur kepalaku dengan air dingin agar aku bisa membuang segala pikiran buruk dan meredakan gejolak emosi yang aku benci ini. Aku harus baik-baik saja atau setidaknya aku harus terlihat baik-baik saja.

Selesai mandi dan berganti pakaian, aku pun langsung merebahkan diri di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamar dengan lampu yang temaram namun tiba-tiba saja aku teringat oleh Darren atau lebih tepatnya teringat akan pertanyaan bodohnya tadi kepadaku.

Apa maksud perkataan Darren tadi ya? Mengapa dia bisa bertanya seperti itu? Seharusnya kan dia sudah tahu jawabannya jika aku tidak pernah menyukai Kevin atau siapa pun selama ini.

Tante, I Love You (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang