Pagi ini saat ingin pergi ke kantor tiba-tiba saja ada seorang wanita yang akan melahirkan di pinggir jalan. Langsung saja aku yang melihatnya berusaha untuk menolong wanita tersebut dan membawanya ke rumah sakit bersama dua orang warga lainnya yang juga turut membantu.
Saat ini aku tengah mengurus administrasi wanita tersebut karena pihak rumah sakit hanya akan melayani jika masalah administrasi sudah diselesaikan. Saat ingin kembali ke ruang persalinan aku melihat Darren dan Rega, temannya yang tempo hari yang aku temui di restoran bersama Mbak Maura dan langsung saja aku pun pergi mendekati keduanya untuk menyapanya.
"Darren, elo sudah masuk kerja?" tanyaku berbasa-basi. Lagi pula mau apalagi dia di sini dengan jubah dokternya kalau bukan untuk bekerja?
"Hai Vita, apa kabar. Kamu sakit?" jelas ini bukan suara Darren karena Darren tidak mungkin akan bersikap ramah dan banyak bicara seperti itu.
"Hai Rega, bukan gw yang sakit tetapi orang lain. Tadi saat gw mau berangkat ke kantor ada seorang wanita hamil yang ingin melahirkan di pinggir jalan jadinya gw bawa ke sini untuk dapat pertolongan. Lagian kan kasihan kalau sang ibu dan bayinya harus melewati proses persalinan di pinggir jalan seperti itu." jawabku jujur. Tidak bisa aku bayangkan jika wanita itu benar-benar akan melahirkan bayinya di pinggir jalan. Jalan yang padat dengan kendaraan dan asap knalpot belum lagi kondisinya yang kotor dan sedikit becek akibat hujan semalaman.
"Begitu rupanya. Terus keadaan wanita tersebut bagaimana sekarang?" belum sempat aku menjawab pertanyaan Rega, handphone milikku berbunyi dan memunculkan nama Mbak Maura di layarnya. Setelah izin untuk mengangkat telepon sebentar aku pun sedikit menjauh dari keduanya.
"Hallo assalamualaikum mbak."
"......"
"Gw di rumah sakit Mas Bram. Tadi... (cerita soal wanita tadi)." aku pun mulai menceritakan kejadian tadi pagi yang menimpaku kepada Mbak Maura hingga akhirnya cerita tersebut selesai dan kami pun memutuskan sambungan telepon.
"Ya sudah deh mbak, maaf ya. Nanti siang gw usahain ke kantor deh kalau semuanya sudah selesai di sini. File-nya gw kirim via email saja ya."
"......"
"Iya. Waalaikumsalam." Setelah selesai, aku pun kembali menemui Rega dan Darren yang sejak tadi terus saja memperhatikan diriku dalam diam.
"Maaf, tadi Mbak Maura telepon."
"Enggak apa-apa, santai saja. Terus sekarang kamu mau langsung ke kantor atau bagaimana?" tanya Rega kembali sementara Darren tetap saja memilih diam seribu bahasa dan hanya menatapku datar.
"Gw kayanya masih tetap di sini sampai suami wanita itu datang. Lagi pula enggak mungkin kan kalau gw tinggal begitu saja? Nanti siapa yang nungguin dan mengurus semua keperluannya kalau gw pergi? Cuman masalahnya dari tadi gw belum bisa menghubungi suaminya. Semua telepon gw enggak di angkat begitu pun semua pesan yang gw kirim juga belum di balas. Oh iya, sekalian gw mau lihat bayinya. Semoga saja baik sang ibu dan bayi keduanya selamat dan sehat." doaku dengan tulus.
***
Setelah melakukan visit pasien aku pun hendak kembali ke ruanganku namun di dekat ruang operasi aku melihat jika Tante Vita masih berada di sana dalam keadaan yang tengah menangis. Awalnya aku ingin mengabaikannya namun sulit karena bagaimanapun aku masih memiliki perasaan dan hati nurani meski harus akui jika aku jarang menunjukkannya kepada siapa pun.
Aku langsung mendekati dan memberikannya saputangan milikku untuk dia gunakan. Tante Vita kemudian mengadahkan kepalanya yang tertunduk ke atas dan terlihat cukup terkejut dengan kedatanganku saat ini. Aku lalu duduk di sampingnya dalam diam dan tiba-tiba saja tangisan Tante Vita justru makin keras terdengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tante, I Love You (TAMAT)
RomanceBerawal dari sebuah kebohongan akan status keduanya yang mengaku sebagai sepasang kekasih, Vita dan Darren menjadi semakin dekat hingga akhirnya salah satu diantara mereka memiliki perasaan berbeda. Namun cinta adalah sebuah fatamorgana bagi Vita ya...